-Fikih Fikih Ibadah Masa-il Ushuliyah

Hukum Mencampuradukkan Madzhab (Talfiq)

HUKUM MENCAMPUR ADUKKAN MAZHAB (TALFIQ)

HUKUM MENCAMPUR ADUKKAN MAZHAB (TALFIQ)

Secara bahasa talfiq bermakna: Menyatukan dua tepi baju untuk dijahit. Dari kata-kata: laffaqa-yulaffiqu-talfîqan.

Sedangkan secara istilah di kalangan ulama, talfiq memiliki banyak arti, pengertian yang paling terkenal adalah:

Menciptakan hukum dengan mengkombinasikan berbagai mazhab, sehingga hukum
tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang
mengatakannya.

Lihat: Ibnu Manzhur, Lisan Al Arab, jilid 8, hal. 105, Dr. Wahbah Az Zuhaili, Bahts ‘an al-Akhzi Bi ar-Rukhash asy-Syar’iyyah Wa Hukmuh, jilid I, (Jeddah; Majallah Majma’ Al-Fiqh Al-Islamiy, Daurah Ats-Tsaminah), hal. 14., Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Tabshir An-Nujaba Bi Haqiqat Al-Ijtihad wa At-Taqlid wa AtTalfiq wa Al-Ifta’, cet. I, (Kairo; Dar Al-Hadits, 1415 H ; 1995 M), hal. 262).

Talfiq dapat digambarkan sebagai berikut: seorang muqallid yang bermazhab Syafi’i dalam wudhuknya mengusap sebagian rambutnya saja, kemudian dia menyentuh wanita ajnabiyyah (bukan mahram) tanpa ada penghalang. Status wudhuknya itu batal menurut keempat mazhab mu’tabarah. Menurut Abu Hanifah wudhuknya tidak sah sebab tidak mengusap seperempat kepalanya, sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad mewajibkan mengusap seluruh kepala, mazhab Imam Malik juga menambahkan harus men-tadlik seluruh anggota wudhuknya. Begitu pula dalam mazhab Imam Asy-Syafi’i, walau wudhuknya sah namun menjadi batal karena bersentuhan kulit dengan wanita ajnabiah tanpa penghalang.

Dalam Ahwal Syakhsiyah talfiq bisa digambarkan sebagai berikut: seorang laki-laki menikahi wanita tanpa wali dan mahar juga tanpa saksi, dengan bertaqlid pada setiap mazhab pada sisi-sisi tertentu saja, namun bila dikumpulkan menjadi satu maka tidak ada satu mazhab pun yang mengatakan ia sah.

Hukum talfiq:

Beberapa perkara yang disepakati oleh para ulama tentang talfiq:

Talfiq tidak berlaku pada masalah-masalah tauhid yang asas, juga masalah-masalah agama yang diketahui dengan gamblang (al-ma’lum min ad-din bi ad-dharurah), seperti rukun Islam yang lima, haramnya mencuri, zina, dusta dan lain-lain.

Lihat: Dr. Umar Abdullah Kamil, Ar-Rukhshah As-Syar’iyah Fi Al-Ushul Wa Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, (Beirut;
Dar Ibn Hazm, t.t).

Terkait hukum talfiq para ulama terbagi kepada dua pendapat, yang membolehkan dan yang melarangnya. Sebab ikhtilaf ulama dalam masalah talfiq adalah: perbedaan ulama dalam menentukan kebolehan berpindahnya seseorang dari satu mazhab ke mazhab yang lain dalam masalah tertentu. Mazhab yang melarang seseorang keluar dari mazhab yang telah ia pilih pasti akan melarang talfiq, dan mazhab yang membolehkan berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain akan membolehkan talfiq baik secara mutlak maupun bersyarat.

Lihat: Muhammad Sa’id bin Abdurrahman Albani Al-Husaini, ‘Umdat At-Tahqiq Fi At-Taqlid wa At-Talfiq, cet. II, (Damaskus; Dar al-Qadiri, 1418 H : 1923 M), hal. 98, Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Tabshir An-Nujaba…, hal. 275.

a. Pendapat ulama yang melarang talfiq:

Kebanyakan yang berpendapat dengan pendapat ini adalah para mutaakhirin. Hal ini karena beberapa dalil berikut:

1) Ijmak ulama bahwa tidak boleh membuat pendapat ketiga jika terhadap suatu masalah para ulama terdahulu hanya berselisih dalam dua pendapat. Seperti masalah ‘iddah wanita hamil yang meninggal suaminya, hanya ada dua pendapat, yaitu: habis ‘iddah-nya dengan melahirkan, atau pendapat yang mengatakan habis iddah-nya dengan masa yang paling lama.

2) Sekiranya pintu talfiq dibuka niscaya akan meruntuhkan syariat Islam dan akan menghalalkan perkara yang diharamkan. Seorang yang ingin berzina dengan seorang wanita baligh dan berakal niscaya dapat bermazhab Abu Hanifah bahwa wanita tersebut tidak perlu wali. Kemudian ia akan bertaqlid mazhab Maliki bahwa pernikahan tersebut tidak perlu saksi.

3) Tidak ada dalil dalam syariat Islam yang membolehkan talfiq, bahkan tidak dikenal dari sejarah mulanya Islam. Adapun nukilan sebahagian kaum salaf bahwa sebahagian mereka mengambil pendapat salah seorang alim lalu dalam masalah lain mereka mengambil pendapat dari orang alim yang lain, hal ini hakikatnya tidak masuk dalam talfiq. Karena pendapat-pendapat ini tergabungkan tanpa ada maksud dan niat sebelumnya.

Lihat: Ghazi bin Mursyid al-Huyay, At Talfiq Baina …,hal. 236-237.

b. Dalil pendapat ulama yang membolehkan talfiq:

Jumhur ulama mutaqaddimin membolehkan talfiq dengan beberapa alasan berikut:

1) Perbuatan para Sahabat Ra. Seorang mustafti (orang yang meminta fatwa) pada masa sahabat jika bertanya kepada salah seorang sahabat yang mujtahid, ia tidak pernah dilarang untuk bertanya kepada sahabat yang lain. Sebagaimana tidak pernah diriwayatkan pada masa Sahabat dan Tabi’in bahwa mereka mewajibkan seseorang untuk mengambil pendapat seorang mujtahid saja, agar tidak terjerumus dalam masalah talfiq.

2) Melarang talfiq menimbulkan beberapa perkara yang bathil. Seperti:

a) Mempersulit agama. Padahal Allah Swt. berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya: Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(Q.S. Al-Hajj: 78)

Dan Allah Swt. berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (Q.S. An-Nisâ’: 28)

Begitu pula Allah Swt. berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak mengehendaki kesukaran bagimu. (Q.S. Al-Baqarah ayat 185)

Dan Rasulullah Saw. juga bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ

Artinya: Aku diutus dengan agama yang lurus dan mudah“. (H.R. Ahmad dari Jabir Ra.)

b) Menentang ijmak ulama yang mengatakan: semua imam mujtahid adalah dalam kebenaran, selama mereka menempuh ijtihad dengan cara yang benar. Sebagaimana menentang pendapat jumhur ulama yang mengatakan: Ikhtilaf adalah rahmat.

c) Pendapat yang melarang talfiq akan membawa kepada rusaknya ibadah dan muamalat orang-orang awam.

c. Pendapat yang rajih tentang talfiq

Bahwa talfiq tidak boleh dilakukan tanpa melihat kepada dalil, dengan demikian yang berhak melakukannya adalah orang yang alim terlebih lagi yang mujtahid. Sebab seorang mujtahid harus melihat dalil-dalil syarak yang kuat. Hasil ijtihad inilah yang harus ia lakukan dan ia fatwakan. Jika pendapatnya ini membawa kepada talfiq dua pendapat atau lebih tidak akan bermasalah. Karena talfiqnya ini terjadi sendirinya tanpa ada maksud sebelumnya.

Sedangkan orang awam tidak boleh melakukan talfiq, karena ia tidak mampu mentarjihkan satu pendapat terhadap pendapat lainnya juga ia tidak menghimpunkan dua pendapat melainkan karena mengikut selera hawa nafsunya.

Adapun jika seorang awam bertanya kepada seorang ulama tentang membasuh kepala dalam wudhuk lalu dijawab apa yang sesuai dengan mazhab Imam Syafi’i bahwa yang wajib hanya membasuh sebahagian kepala. Kemudian orang awam tersebut bertanya seorang alim lainnya tentang menyentuh kemaluan tanpa penghalang lalu dijawab apa yang sesuai dengan mazhab Imam Abu Hanifah bahwa menyentuh kemaluan tanpa penghalang tidak membatalkan wudhuk. Ibadah orang awam tersebut tidak batal. Karena terjadinya talfiq antara dua mazhab tersebut tanpa disengaja, ia terjadi dengan sendirinya sebab ia melaksanakan kewajiban bertanya kepada orang yang ahli, dan orang alim tersebut telah melaksanakan kewajibannya menjelaskan hukum syarak kepada yang tidak tahu.

Lihat: Ghazi bin Mursyid al-Huyay, At Talfiq Baina …,hal. 243-244.

 

Bentuk Talfiq Yang Terlarang:

Terdapat tiga bentuk talfiq yang disepakati oleh para ulama tercela dan tidak boleh diamalkan, yaitu:

a. Sengaja mencari yang mudah-mudah (tatabbu’ ar-rukhash). Seperti seseorang yang mencari pada setiap mazhab perkara yang mudah-mudah tanpa sebab uzur atau darurat. Ini termasuk perkara yang tercela karena akan menjadikan seorang mukallaf bermain-main dengan urusan agamanya.

b. Talfiq yang membawa kepada pembatalan hukumnya sang hakim. Karena dasarnya keputusan hakim mengangkat perbedaan pendapat yang membawa kepada keributan dan perselisihan.

c. Talfiq yang menyebabkan seseorang meruju’ dari pendapat yang pernah dilakukannya, untuk dibawa ke pendapat lain, demikian pula talfiq terhadap perkara yang disepakati oleh para ulama sebagai konsekuensi dari taqlidnya pada masa lalu.

Contoh talfiq terlarang yang menyebabkan seseorang meruju’ dari pendapat yang pernah dilakukannya adalah: seseorang yang menceraikan istrinya dengan mengatakan “AlBattah”. Sebelumnya ia mengambil pendapat kata AlBattah bermakna thalak tiga, namun selang beberapa waktu dia meninggalkan pendapat lamanya dan mengambil pendapat lain yang mengatakan “Al Battah” tidak bermakna thalak tiga.

Adapun contoh talfiq mencampur aduk dua pendapat atau lebih terhadap perkara yang disepakati oleh para ulama sebagai konsekuensi dari taqlidnya pada masa lalu adalah: seseorang yang menikah dengan seorang wanita tanpa wali mengikut pendapat Abu Hanifah. Kemudian ia ceraikan istrinya dengan tiga thalak. Kemudian dia ingin bertaqlid dengan mazhab imam Syafi’i yang mengatakan tidak jatuh thalaknya, karena ia menikahi wanita tersebut tanpa wali. Karena hal ini berarti meninggalkan perkara yang telah disepakati oleh para ulama sebagai konsekuensi dari taqlidnya terhadap pendapat pilihannya.

talfiq yang merupakan imbas dari taqlid, pintunya harusnya ditutup terutama bagi masyarakat awam. Sebab ditakutkan akan terjadi pencampuran mazhab dengan mengikut selera dan hawa nafsunya sehingga meruntuhkan maqashid syari’ah bahwa dalam ketentuan Allah Swt terdapat ujian dan cobaan di dalamnya.

Adapun talfiq yang terjadi sebab hasil ijtihad atau hasil dari tarjih seorang alim terhadap dalil tidak dikatakan talfiq yang tercela. Hakikatnya orang alim tersebut memperhatikan dan mengamalkan dalil, bukan mencari-cari kemudahan dan mempermain-mainkan agama.

Demikian pula tidak dikatakan talfiq tercela pada talfiq yang terjadi tanpa unsur kesengajaan mencari-cari kemudahan yang dilakukan oleh orang awam dengan sebab ia bermakmum dengan seorang imam salat dalam mazhab yang lain.

Wallahu A’lam

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.