-Fikih Akhlak

Musik Boleh Dengan Tujuh Dalil Dan Satu Syarat

Permasalahan musik dan lagu merupakan permasalahan hangat yang banyak dibincangkan oleh para ulama. Ada hal-hal yang disepakati dan ada juga yang diperselisihkan oleh mereka.

Para ulama sepakat bahwa nyanyian yang diharamkan adalah nyanyian yang mengandung keburukan, kefasikan, dan dorongan melakukan kemaksiatan. Sebab nyanyian adalah ucapan, ucapan yang baik adalah baik dan ucapan yang buruk adalah buruk. Terlebih lagi jika ucapan yang mengandung keburukan tersebut berkumpul di dalamnya sajak, irama, musik dan dorongan-dorongan kejahatan.

Sebagaimana para ulama juga sepakat bahwa nyanyian/nasyid yang fitrah tidak menggunakan alat musik dan tidak ada dorongan kejahatan, dilakukan dalam suasana bahagia yang dibolehkan oleh syara’ seperti: walimah pernikahan, ketibaan orang yang datang dari perjalanan jauh, di saat hari raya adalah dibolehkan namun dengan syarat yang bernyanyi bukanlah wanita di hadapan non mahramnya.

Adapun nyanyian yang diiringi dengan musik tanpa ada dorongan kemaksiatan maka para ulama berbeda pendapat. Namun kami memilih pendapat yang mengatakan bahwa musik yang demikian itu dibolehkan berdasarkan tujuh dalil namun tetap dengan menjaga satu syarat. Ketujuh dalilnya adalah:

1. Masalah musik adalah masalah khilafiyah. Sebabnya adalah ketiadaaan dalil yang jelas dan yang tegas menyatakan pengharamannya. Demikian yang dikatakan oleh Al Qadhi Abu Bakar bin Al A’arabi, Al Ghazzali, Ibnu An Nahwi, Ibnu Thahir. Bahkan Ibnu Hazam mengatakan: “Setiap dalil yang diriwayatkan tentang pengharaman nyanyian adalah bathil dan palsu”. (Al Muhalla bil Atsar, jil. 9, hal. 60).

Karena itu tidak layak bagi seorang muslim menuduh fasiq terhadap sebagian lainnya. Ini bukanlah masalah akidah atau ushuliyah, namun ini adalah masalah furu’ dan khilafiyah yang tidak layak kita pungkiri.

Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan:

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ فَلَا تَنْهَهُ

“Jika kamu melihat seseorang yang melakukan amalan yang diperselisihkan oleh para ulama, dan kamu berpendapat lain, janganlah kamu melarangnya”. (Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani, Hilyatu Al Awliya’Wa Thabaqatu Al Ashfiya’, (Beirut: Dar Al Kitab Al Arabi, 1409 H), j.6, h.368).

2. Pada masa Nabi Saw pernah ada musik dan nyanyian. Dalam Tafsir Al Jami’ li Ahkam Al Quran imam Al Qurthubi jil. 14, hal. 54 mengatakan:

ضرب بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم يوم دخل المدينة، فهم أبو بكر بالزجر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (دعهن يا أبا بكر حتى تعلم اليهود أن ديننا فسيح) فكن يضربن ويقلن: نحن بنات النجار، حبذا محمد من جار

“Telah dipukul gendang di hadapan Nabi Saw ketika beliau tiba di Madinah. Abu Bakar bermaksud untuk menghalangi mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Biarkanlah mereka wahau Abu Bakar. Agar orang Yahudi tahu bahwa agama kita sangat lapang”. Para wanita Anshar memukul gendang dan bersenandung: “Kami wanita dari Najjar, senang bertetangga dengan Muammad”.

Begitu pula dalam Shahih Al Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah Ra bahwa Abu Bakar datang ke rumah Aisyah dan di waktu itu terdapat dua orang anak perempuan suasana masih di hari Mina (hari Idul Adha) keduanya menyanyi dan memukul gendang dan Nabi Saw sedang menutup wajah beliau dengan pakaian. Abu Bakar menghardik keduanya. Lalu Rasulullah Saw membuka pakaian dari wajah beliau dan bersabda:

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ

“Biarkanlah mereka berdua wahai Abu Bakar. Sesungguhnya ini adalah hari raya”. (HR. Al Bukhari). Hadis yang semakna dengan kedua hadis ini sangatlah banyak.

3. Allah Swt berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. (QS. Luqman, ayat: 6).

Maksud dari larangan ini bukanlah lagu namun tutur kata yang melalaikan dan tidak berguna. Baik berupa ghibah, namimah atau lainnya. Adapun perkataan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa maksud daripada ayat ini adalah lagu maka itu adalah ijtihad dari mereka bukanlah suatu penjelasan langsung dari ayat. Sebab sifat yang terdapat di dalam ayat ini pelakunya menjadi kafir tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama yaitu menjadikan jalan Allah Swt sebagai bahan olokan. (Fiqhu Al Ghina’ wa Al Musiqa fi Dhau-i Al Quran wa As Sunnah, karya Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Wahbah – Kairo, hal. 31).

4. Sulthan Al Ulama’ Izzuddin Abdussalam mengatakan: “Cara mendapatkan hati yang baik banyak, diantaranya adalah dengan mendengarkan Alquran dan inilah yang terbaik. Juga dengan mendengarkan nasehat, dengan mendengarkan nasyid, dengan nyanyian yang menggunakan alat”. (Nukilan dari At Taj wa Al Iklil karya Al Abdari Al Maliki, jil. 2, hal. 362).

Ini merupakan dalil bahwa beliau berpendapat beberapa cara ini adalah untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman jiwa.

5. Ibnu Hazam mengatakan: “Pekerjaan itu tergantung dengan niatnya. Siapa yang mendengarkan musik untuk membantu maksiatnya maka ia adalah orang yang fasiq. Demikian pula halnya pada selain musik. Jika ia mendengarkan musik untuk menyegarkan jiwanya agar kembali kuat melaksanakan ketaatan kepada Allah maka ia adalah orang yang baik dan taat. Adapun jika ia melakukannya tanpa ada niat untuk ketaatan atau kemaksiatan maka ia dimaafkan sama seperti seseorang yang pergi ke taman untuk berekreasi, dan duduknya di depan rumah untuk berelaksasi”. (Al Muhalla bil Atsar, karya Ibnu Hazam, jil. 7, hal. 567).

6. Fatwa Syeikh Al Azhar terdahulu yaitu Grand Syeikh Mahmud Syaltut terkait mendengarkan music dan mempeajarinya: Sesungguhnya Allah Swt telah menciptakan manusia memiliki kecenderungan suka yang enak dan yang baik, yang dengannya ia tenang, nyaman, dan bersemangat. Karena itu kita melihat dan merasakan jiwa merasa tenang dan senang melihat pemandangan alam yang indah seperti hijaunya daun, air yang jernih. Dan Syariat tidak menghilangkan pemanfaatan fungsi kecenderungan tersebut, namun ia mengaturnya. Dan moderat dalam Islam adalah kaidah penting yang disebutkan oleh Alquran Al Karim. Seperti firman Allah Swt:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al A’raf, ayat: 32).

Syariat Islam diturunkan bukan untuk menghalangi kecenderungan manusia untuk menikmati pemandangan yang indah dan mendengarkan yang indah. Namun diturunkan untuk mengatur dan memperbaikinya kea rah yang tidak mengandung keburukan dan kejahatan.

7. Syeikh Yusuf Al Qaradhawi mengatakan: “Adapun terkait dengan pengharaman nyanyian dan musik yang terdapat dalam banyak hadis maksudnya adalah: bahwa pada masa lalu menghadiri majlis nyanyian pasti akan ada percampuran (ikhtilat) laki-laki dan perempuan, sangat sedikit majlis tersebut terhindar dari perkara-perkara yang dipungkiri oleh syara’ dan diharamkan oleh agama”. ((Fiqhu Al Ghina’ wa Al Musiqa fi Dhau-i Al Quran wa As Sunnah, hal. 189).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nyanyi dan musik yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Islam datang dengan seruan kesucian, keindahan dan kenyamanan. Tidak datang dengan kekotoran, kekacauan, dan keburukan. Maka setiap seni dan nyanyian yang sejalan dengan prinsip ini adalah halal.

Boleh hukumnya mendengarkan nyanyian baik diiringi musik atau tidak, selama tidak mendorong kepada kemaksiatan. Namun perlu digarisbawahi bahwa terlalu banyak dan sering mendengarkannya akan menimbulkan kelalaian yang dilarang sehingga berubah hukumnya tidak lagi mubah namun menjadi makruh bahkan adakalanya membawa kepada keharaman.

Sebagaimana jika dalam nyanyian terdapat perkataan yang buruk, kefasikan, kemaksiatan atau dorongan/rangsangan untuk bermaksiat maka ia adalah haram atau di dalam majlis tersebut terdapat sesuatu yang haram seperti majlis minum khamar, perzinaan dan lainnya maka ia adalah haram.

Wallahu A’lam

Rujukan Utama:

– Al Bayan lima Yusyghilu Al Adzhan, Prof. Dr. Ali Jumah, Al Muqattam, Kairo

– Fiqhu Al Ghina’ wa Al Musiqa fi Dhau-i Al Quran wa As Sunnah, karya Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Wahbah – Kairo

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.