-Fikih

Muqaddimah Ilmu Fiqih

muqadimah ilmu fiqih

muqadimah ilmu fiqih

المبــــــادئ العشــــــرة في علــــم الفقــــــــــــه

MUQADDIMAH ILMU FIKIH

 

Disampaikan oleh:

Ustadz Awwaluz Zikri Zailani, Lc. MA

Dalam acara Daurah Tarbiah Muta’allimin, Diadakan oleh Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, hari Sabtu, 27 Oktober 2018, Gedung Konsuler KBRI, 10ThDistrict, Nasr City, Cairo

إن مَبادِي كلِّ عِلم عشَرهْ       #        الحدُّ والموضوع ثم الثمَرهْ
وفضلُه ونِسبةٌ والواضِعْ         #       الاسم الاستمدادُ حكمُ الشارعْ
مسائلٌ والبعضُ بالبعض اكتَفى#      ومَن درى الجميعَ حاز الشَّرَفا
(الشيخ الصبان – رحمه الله)

“Sesungguhnya prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: (1) batasan definitif, (2) ruang lingkup kajian, (3) manfaat kajian, (4) perbandingan dan hubungan dengan ilmu lain, (5) keistimewaan, (6) perintis, (7) sebutan resmi, (8) sumber pengambilan kajian, (9) hukum mempelajari, (10) pokok-pokok masalah yang dikaji”.

 

  1. Definisi:

Ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat yang berupa pekerjaan-pekerjaan (perbuatan lahiriyah) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

  1. Ruang Lingkup Kajian

Objek bahasan dalam ilmu Fikih adalah segala aktivitas mukallaf baik dari segi ucapan maupun perbuatan, ditinjau dari sisi syariah. Baik berupa beban kewajiban melakukan seperti shalat, puasa, kewajiban meninggalkan seperti: zina, minum khamar dan lainnya. Atau kebolehan memilih melakukan atau meninggalkannya, seperti makan, minum dan lainnya.

  1. Manfaat Kajian:

 Melakukan amalan sesuai dengan kehendak syara’ baik dalam ibadah atau muamalah dengan cara yang benar demi memperoleh kebahagiaan duni dan akhirat.

  1. Keistimewaan

Dilihat dari manfaat dan faedahnya, ilmu fikih adalah yang paling mulia. Sebab ilmu inilah yang digunakan untuk mengetahui sah tidaknya suatu ibadah, transaksi muamalah atau pernikahan, boleh tidaknya melakukan suatu perbuatan dan lain-lain.

Rasulullah Saw. bersabda:

من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan baginya urusan agama”. HR. Al Bukhari – Muslim.

Hadis ini dengan jelas mengatakan bahwa salah satu tanda Allah SWT  menghendaki kebaikan pada seseorang adalah dengan jalan memberikan kepahaman baginya dalam urusan agamanya, dan inilah ilmu Fikih.

Terdapat kisah menarik dari Abu Hanifah ketika permulaan beliau menuntut ilmu. Beliau berkata: Ketika daku hendak menekuni ilmu, aku perhatikan setiap ilmu, semuanya ku letakkan di depan mataku. Ku baca satu persatu, dan aku membayangkan kesudahannya. Pertama sekali yang ku lihat adalah ilmu kalam, ternyata kesudahannya adalah buruk, dan manfaatnya sedikit. Dan apabila seseorang sempurna dalam ilmu kalam, niscaya dia tidak bisa bicara terang-terangan, dan niscaya dituduh dengan tuduhan yang buruk.

Kemudian ku perhatikan ilmu Adab dan Nahu. Ternyata kesudahannya nanti daku hanya akan duduk dengan anak kecil yang belajar Adab dan Nahu. Kemudian ku perhatikan Ilmu Sya’ir, ternyata kalaupun daku berhasil menguasainya kerjaku hanyalah memuji dan menyanjung orang, dan bisa jadi kata-kataku hanya dusta dan mencerai-beraikan agama. Kemudian ku perhatikan lagi ilmu Qiraat. Ternyata kesudahannya aku akan duduk dengan orang-orang yang baru belajar, mereka akan memintaku membenarkan bacaan mereka, lagi pula ilmu Alquran dan mempelajari makna-maknanya sangat sulit.

Lalu aku berazam ingin mempelajari Hadis. Namun kalau aku ingin menghafal hadis sebanyak-banyaknya, niscaya aku butuh umur yang panjang.Dan bisa saja mereka akan menuduhku sebagai seorang pendusta dan buruk hafalan hingga ke hari kiamat.

Kemudian Aku lihat ilmu Fikih. Setiap kali ku perhatikan ilmu Fikih dari segala sudutnya, aku semakin mengaguminya, tidak ada kecacatan padanya. Dan ku perhatikan juga, bahwa: ibadah fardhu, menegakkan agama dan beribadah tidak akan sempurna tanpanya. Segala perkara dunia dan akhirat pun tidak akan sempurna tanpa ilmu ini…

(Dari kitab Tarikh Baghdad, dan biografi Abu Hanifah karangan Syeikh Muhammad Abu Zuhrah)

  1. Perbandingan dan Hubungan Dengan Ilmu Lain:

Ilmu Fikih berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain.

نسبته إلى غيره التباين

Namun ilmu fikih dan ilmu lainnya saling berkaitan. Misalnya keterkaitan ilmu fikih dengan ilmu kedokteran dalam masalah rokok. Para dokter mengatakan rokok berbahaya, maka ahli fikih akan mengeluarkan statement bahwa rokok itu haram, sebab segala yang membahayakan dilarang dalam syariat.

  1. Perintis/Pencetusnya

Yaitu para ulama mujtahid terdahulu. Dimulai dengan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin Ra, lalu Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i dan lainnya. Diantara mereka yang paling masyhur adalah empat Imam Mazhab Muktabar:

a. Imam Abu Hanifah (80 H – 150 H).

Mazhab Hanafi adalah mazhab yang diasaskan oleh Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit bin Zauthi bin Mah. Lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Beliau disebut Abu Hanifah karena selalu membawa tinta, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. (Al Fathul Mubin, Dr. Muhammad Ibrahim Al Hafnawi, hal. 11).

Abu Hanifah di zamannya dikenal sebagai seorang yang sangat alim. Sufyan Ats Tsauri ketika pulang dari Abu Hanifah mengatakan: Aku pulang dari orang yang paling faqih di atas muka bumi ini.

Imam Asy Syafi’i juga memuji beliau dengan mengatakan: manusia dalam ilmu Fiqh semuanya butuh kepada Abu Hanifah.

Mazhab Hanafi banyak berkembang di Irak, Syam, India, Mesir, Turkistan, Brazil dan lain-lain.

 

b. Imam Malik (93 H – 179 H).

Mazhab Maliki adalah mazhab yang diasaskan oleh Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir, bergelar Imam Ahlil Hijrah. Beliau lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H di Madinah Al Munawwarah dan dimakamkan di Baqi’.

Imam Malik dari kecil telah dikenal memiliki ilmu yang luas, memiliki akhlak mahmudah yang luar biasa. Majlis ilmu beliau dikenal sebagai majlis ilmu yang penuh kebersahajaan dan kewibawaan, tidak ada senda gurau atau suara yang tinggi.

Adalah imam Malik selalu berwudhu’ dan memakai pakaian yang bagus setiap kali akan memulai majelis ilmunya. Beliau juga tidak pernah menunggang kuda atau kendaraan yang lain ketika beliau di Madinah bahkan hingga di usianya yang lanjut. Ketika ditanya beliau menjawab: Saya tidak akan menaiki tunggangan apapun di kota yang dimakamkan di dalamnya jasad Rasulullah SAW.

Mazhab Maliki banyak berkembang di Mesir, Andalusia, Tunisia, dan di negara-negara Afrika.

 

c. Imam As Syafi’I (150 H – 204 H)

Muhammad bin Idris Asy Syafi’i lahir tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H.  Akan kita khususkan kajian tentang Imam As Syafi’i dan mazhab beliau di kajian berikutnya.

d. Imam Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H).

Mazhab Hanbali adalah mazhab yang diasaskan oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Abu Abdillah Asy Syaibani. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H, kemudian banyak mengadakan perjalanan ke berbagai daerah Islam lainnya seperti: Mekkah, Madinah, Yaman, Syam, Kufah dan Basrah untuk mempelajari Hadits dan Fiqh dari para ulama besar.

Banyak ulama yang memuji kepakaran beliau di dalam fiqh dan terutama di bidang hadits. Diantaranya adalah perkataan salah seorang guru beliau yaitu imam Asy Syafi’i: Ketika saya meninggalkan Baghdad, tidak seorangpun yang saya tinggalkan lebih wara’, bertaqwa dan alim dari Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad wafat pada pagi Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 H setelah mengalami banyak cobaan dalam kehidupannya. Diantaranya adalah ketika terjadi fitnah paksaan untuk mengatakan Al Quran adalah makhluk yang sudah dimulai dari masa Al Makmun. Kemudian imam Ahmad dipenjara pada masa Al Mu’tashim selama 28 bulan karena menolak mengatakan Al Quran adalah makhluk. Kemudian beliau keluar penjara pada masa Al Watsiq billah, dan menjadi salah seorang ulama yang sangat dimuliakan pada masa Al Mutawakkil.

Diantara kitab yang dikarang oleh beliau adalah: Al Musnad, At Tarikh, An Nasikh wan Mansukh, dan Az Zuhd.

Mazhab hanbali sebelum menjadi mazhab resmi di negera Arab Saudi tidak banyak tersebar di belahan dunia seperti 3 mazhab lainnya karena beberapa sebab yang disebutkan oleh Syeikh Abu Zuhrah:

  1.       Mereka sangatmutasyaddiddalam urusanfuru’ fiqhiyyah.
  2.       Sahabat-sahabat Imam Ahmad juga para pengikutnya tidak mau dekat dengan para pemerintah. Sehingga tidak seorangpun di kalangan mereka yang pernah menjabat menjadi Qadhi atau unsur-unsur kepemerintahan lainnya.
  3. Ta’ashub yang berlebihan dalam masalah Khalqul Quran yang pernah menimpa Imam Ahmad. Mereka mencelakakan setiap orang yang tidak mengatakan seperti perkataan Imam Ahmad bin Hanbal.

 

۞ Lebih Lanjut Tentang Mazhab As Syafi’i

1. Nama dan Nasab Imam As Syafi’i

Beliau adalah seorang Imam yang berasal dari suku Quraiys Mujaddid di abad kedua hijriyah bernama: Muhammad bin Idris bin Al ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ Al Hasyimi. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdu Manaf bin Qushay.

Beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina) tahun 150 H bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Hakikatnya Ghazza bukanlah tanah kakek-nenek beliau, ayah beliau Idris pergi ke sana untuk suatu hajat, dan meninggal di sana, selang beberapa waktu lahirlah imam As Syafi’i.

 

2. Pujian Ulama Kepada Beliau

Pujian yang disematkan oleh para ulama ke atas beliau sangatlah banyak. Diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang sangat banyak mendoakan dan memuji imam As Syafi’i. Anak beliau sempat bertanya tentang doa sang ayah begitu banyak kepada Asy Syafi’i. Beliau menjawab: Wahai anakku, As Syafi’i bagi manusia ibarat kesehatan bagi badan, seperti matahari bagi dunia, tentu tidak ada gantinya. Sungguh aku tidak mengetahui Nasikhul Hadits dan Mansukhnya sehingga aku bergaul dengan Asy Syafi’i.

Yahya bin Ma’in pernah berkata kepada Shaleh putra Imam Ahmad bin Hanbal: Apakah ayahmu tidak malu, aku melihat ia bersama As Syafi’I. As Syafi’I naik kendaraan sedangkan ia berjalan memegang talinya. Lalu Shaleh memberitahukan ayahnya perihal tersebut. Imam Ahmad menjawab: Katakan kepadanya, jika kamu ingin faham agama peganglah talinya satu lagi.

 

3. Wafatnya Beliau

Imam Asy Syafi’i wafat di Mesir pada malam Jumat setelah Maghrib menurut perkataan Ar Rabi’ bulan Rajab tahun 204 H, dan dimakamkan pada petang Jumat setelah Ashar. Makam beliau terletak di daerah yang dinisbahkan kepada nama beliau yaitu Mantiqah Syafi’iyah di Kairo ibu kota Mesir, dan tepat di sebelah makam beliau terdapat mesjid yang dinamakan dengan mesjid Asy Syafi’i. Makam beliau banyak diziarahi kaum muslimin dari penjuru dunia terutama kaum muslimin dari Asia Tenggara. Tidak jauh dari makam beliau terdapat makam Syeikhul Islam Zakaria Al Anshari.

Berkata Ar Rabi’: Aku bermimpi melihat nabi Adam As wafat, lalu aku bertanya kepada para ahli takwil mimpi, mereka katakan: Ini adalah kematian orang yang paling alim di atas muka bumi sebab Allah Swt telah mengajarkan Adam As semua nama dan ilmu. Lalu hanya selang beberapa saat meninggallah As Syafi’i.

Mazhab imam Asy Syafi’i tersebar di berbagai belahan dunia: Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Asia Tenggara dan lain-lain.

 

 4. Keistimewaan Mazhab As Syafi’i

Mazhab imam As Syafi’I memiliki beberapa kelebihan dan keistimewaan jika dibandingkan dengan mazhab-mazhab fiqh lainnya, diantaranya 6 keistimewaan berikut ini:

  1. Mazhab As Syafi’I adalah mazhab pertama yang tersusun rapi dengan qaidah-qaidah dan metode-metode istinbath. Keistimewaan ini kembali kepada imam As Syafi’I sebagai pengasas pertama Ushul Fiqh sebagai ilmu yang mandiri dalam karya beliau yang fenomenal Ar Risalah.
  2. Mazhab As Syafi’I menghimpunkan dua madrasah (ideology) fiqh antara Madrasah Al Hadits yang bermarkaz di Hijjaz dan Madrasah Ar Rakyi yang bermarkaz di Irak. Imam As Syafi’I berhasil belajar dari para ulama kedua madrasah tersebut. Belajar dari Imam Malik bin Anas, Muslim bin Khalid, Sufyan bin Uyainah ketiga ulama ini adalah Ulama Hijjaz. Juga sempat belajar dari ulama Irak seperti Muhammad bin Al Hasan As Syaibani (131 – 189 H). Setelah Imam As Syafi’I mempelajari kedua madrasah tersebut beliau menyaring dan menyimpulkan ilmu dari kedua madrasah tersebut sehingga menjadi mazhab beliau yang baru. Di samping itu beliau juga mempelajari mazhab-mazhab lainnya seperti mazhab Al Auza’I (88 – 157 H) dan mazhab Al Laits (94 – 175 H).
  3. Mazhab As Syafi’I adalah mazhab yang paling kuat diberikan khidmah (perhatian) oleh para ulama. Baik secara nukilan, pemaparan, pemberian kaidah, dan juga penulisan yang tersusun dengan sangat baik dann rapi. Karena itu pembaca kitab-kitab mazhab Syafi’iyah akan mendapatkan kitab-kitab tersebut disajikan dengan sangat baik, mudah bahasanya, rapi penyusunan bab-bab dan pembahasannya, juga mudah didapatkan pendapat yang mu’tamad dalam setiap masalah yang dipaparkan.
  4. Banyaknya Mujtahid Mustaqil yang merupakan alumni dari mazhab ini, seperti: Ibnu Al Mundzir (241 – 318 H), Ibnu Jarir (224 – 310 H), Daud Az Zhahiri (200 – 270 H). Demikian pula para Mujtahid Muntasib alumni dari mazhab ini seperti imam Al Muzani (175 – 264 H) di akhir hayatnya.

Waliyyullah Ad Dahlawi (1114 – 1176 H) mengatakan: “Adapun mazhab As Syafi’I adalah mazhab yang paling banyak mujtahid mutlaqnya demikian pula yang paling banyak mujtahid mazhab, ahli Ushul Fiqh dan Ahli Kalam. Mazhab yang paling ramai ahli tafsir, pensyarah hadits, dan yang paling syadid dalam sanad dan riwayat, paling kuat dalm menyaring perkataan imam mazhab, ashabul wujuh, dan paling perhatian dalam Tarjih pendapat-pendapat Imam dan Ashabul Wujuh. (Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, karya Waliyyullah Ad Dahlawi, hal. 85, cet. Dar An Nafa-is – Beirut; Cetakan III:1406 H / 1986 M).

  1. Juga merupakan keistimewaan mazhab As Syafi’I, bahwa kitab-kitab pokok dalam mazhab ini berasal dari pengasas mazhab itu sendiri yaitu Imam As Syafi’I Ra.

Ar Rabi’ (174 – 270 H) salah seorang murid imam As Syafi’I mengatakan: “As Syafi’I menetap di sini yaitu di Mesir selama empat tahun. Ia mengimla’kan 1.500 lembar, lalu mengarang kitab Al Umm sebanyak 2.000 lembar, lalu menyusun kitab As Sunan dan kitab lainnya yang sangat banyak semuanya dalam masa empat tahun. Padahal beliau sakit sangat parah waktu itu”.

  1. Mazhab imam As Syafi’I juga mazhab yang paling kuat dalam mengikut Sunnah Nabi Saw. Dan kiranya inilah karakteristik paling istimewa yang dimiliki mazhab Imam Asy Syafi’I Ra.

Dalam Siyar A’lam An Nubala’ 10/35 diriwayatkan bahwa Imam As Syafi’I mengatakan: Setiap hadits yang berasal dari Rasulullah Saw maka ia adalah mazhabku walau kalian tidak mendengarnya dariku.

Dan diantara perkataan beliau yang paling fenomenal adalah: “Jika hadits itu shahih maka itulah mazhabku, dan buanglah pendapatku ke dinding”. (Al Bujairimi ‘Ala Al Khatib, karya Al Bujairimi, jilid 1 hal. 77, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah – Beirut; Cetakan I:1417 H / 1996 M).

 

5. Tahapan Bagi Yang Ingin Mendalami Mazhab As Syafi’i

Sebagaimana dalam pendidikan banyak jenjang yang harus ditempuh oleh penuntut ilmu, mulai dari sekolah dasar, menengah, atas, strata satu, dua dan tiga. Begitu pula dalam mempelajari ilmu Fiqh ada jenjang yang harus ditempuh.

Bukan berarti kita sebagai pemula tidak boleh langsung membaca kitab-kitab yang tebal. Namun ketika tangga ilmu kita tempuh dari awal sesuai dengan tingkatannya akan menjadikan penguasaan kita terhadap mazhab lebih kuat dan kokoh. Mulai dari kitab yang tipis, agar kita menguasai pengenalan mazhab secara menyeluruh. Lalu melangkah ke kitab-kitab yang lebih tebal.

Berikut ini langkah-langkah yang harus ditempuh bagi penuntut ilmu yang ingin mendalami mazhab Imam As Syafi’I, agar ilmu yang diterima teratur dengan baik, dan mudah menguasai mazhab Imam As Syafi’I dengan tepat dan benar:

Pertama: Hendaknya memulai dengan kitab-kitab kecil atau ringkasan atau nazham rangkaian bait-bait sya’ir berisi ilmu Fiqh sebagai pengenalan terhadap mazhab imam As Syafi’i, seperti: Matan Taqrib karangan Al Qadhi Abu Syuja’, Matan Qurrat Al ‘Ain yang dikarang oleh imam Al Malibari dan Matan Zubad karya imam Ibnu Ruslan.

Kedua: Lalu melangkah kepada kitab yang lebih mendalam yang mengkaji mazhab Imam As Syafi’I beserta dalil-dalilnya, seperti: Minhaju At Thalibin karya Imam An Nawawy, Hasyiyah Al Bajuri karya imam Al Bajuri, Kifayatul Akhyar karya Imam Al Hishni, Al Muhadzzab karya Imam As Syairazi.

Ketiga: Selanjutnya melangkah ke kitab-kitab Syarah (penjelasan) dari kitab-kitab matan, seperti: Al Iqna’ syarah Matan Abi Syuja’ dan Mughni Al Muhtaj karya Al Khatib As Syarbaini, Tuhfatu Al Muhtaj karya Ibnu Hajar Al Haitami dan Nihayatu Al Muhtaj karya Imam Ar Ramli.

Keempat: Tahapan selanjutnya adalah mempelajari mazhab lain serta dalil-dalil mereka dan bagaimana dalil-dalil ulama Syafi’iyah juga jawaban mereka terhadap dalil-dalil mazhab yang lain yaitu merujuk kepada kitab-kitab Fiqh Muqaran, seperti: Al Majmu’ syarh Al Muhadzzab karya imam An Nawawi, Al Hawi Al Kabir karya imam Al Mawardi, Bahru Al Mazhab karya imam Ar Ruyani dan Nihayat Al Mathlab karya imam Al Haramain.

 

  1. Sumber Pengambilan Kajian:

Bersumber dari Alquran, Alhadis, Ijma’ dan Qiyas bagi para Mujtahid. Dan bagi yang belum mencapai derajat mujtahid dari kitab-kitab karangan para ulama.

Kitab-kitab Muktamad dalam empat mazhab:

a. Dalam Mazhab Hanafi:

1)      AL KAFI,dikarang oleh: Al Hakim Asy Syahid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah (Wafat: 334 H). Kitab ini adalah ringkasan dan himpunan dari enam kitab Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani muridnya Abu Hanifah, yaitu: Al Mabsuth, Al Jami’ Ash Shaghir, Al Jami’ Al Kabir, As Sair Ash Shaghir, As Sair Al Kabir, dan kitab Az Ziyadat.

2)      AL MABSUTH,dikarang oleh: Syamsul A-immah Muhammad bin Ahmad As Sarakhsi (Wafat: 490 H). Kitab ini merupakan Syarah (penjelasan) kitab Al Kafi. Beliau mengimlakkan kitab ini kepada murid-muridnya ketika beliau sedang dipenjara karena nasehat beliau kepada pemerintah di waktu itu. Kitab ini berdasarkan perkataan Thutsusi: adalah hujjah, tidak diambil segala pendapat yang berseberangan dengannya, dan tidak ada fatwa melainkan dengannya.

3)      BADA-I’USH SHANA-I’, dikarang oleh: ‘Ala-ud Din Abu Bakar bin Mas’ud Al Kasani (Wafat: 587 H). Kitab ini syarah kitab Tuhfatul Fuqaha’ yang dikarang oleh guru dan mertuanya yang bernama ‘Ala-ud Din As Samarqandi (Wafat: 539 H).

4)      FATHUL QADIR,dikarang oleh: Al Kamal bin Al Humam Muhammad bin Abdul Wahid (Wafat: 861 H). Kitab ini adalah syarah kitab Al Hidayah yang paling besar. Namun Al Kamal meninggal setelah menyelesaikan pembahasan Al Wikalah, lalu disempurnakan oleh Qadhi Zadah (Wafat: 988 H) dengan nama: Nata-ijul Afkar Fi Kasyfi Ar Rumuz Wal Asrar.

5)      Al Binayah Syarhul Hidayah,dikarang oleh: Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Al ‘Aini, beliau juga pengarah ‘Umdatul Qari’ Syarh Shahih Al Bukhari (Wafat: 855 H).

6)      Hasyiyah Raddil Muhtar ‘Ala Ad Durril Mukhtar Syarh Tanwiril Abshar,dikarang oleh Muhammad Amin yang lebih dikenal dengan Ibnu ‘Abidin.

 

b. Dalam Mazhab Maliki:

1)      Al Muwaththa’,karangan Imam Malik bin Anas. Kitab ini merupakan kitab pertama yang menghimpunkan Fiqh dan Hadits. Kitab ini disusun oleh Imam Malik selama 11 tahun.

2)      Al Mudawwanah,merupakan fatwa-fatwa imam Malik bin Anas yang dikumpulkan oleh Ibnu Al Qasim (191 H). Kitab Al Mudawwanah adalah kitab paling penting dan yang paling kuat. Sehingga jika disebutkan Al Kitab dalam mazhab Maliki maksudnya adalah kitab Al Mudawwanah ini.

3)     Mukhtashar Khalil, karangan Abu Muhammad Khalil bin Ishaq (776 H). Kitab ini merupakan ringkasan kitab Jami’ul Ummahat karangan Ibnu Hajib (646 H). Sejak abad ke-8 hijriyah, kitab ini menjadi perhatian luar biasa dari para ulama mazhab maliki. Sehingga tidak ada kitab yang menjadi buruan para ulama untuk mensyarahnya seperti perhatian mereka terhadap kitab ini. Diantarasyarahnya adalah:

  1. Mawahibul Jalil,karangan Abu ‘Abdillah Muhammad yang lebih dikenal dengan Al Haththab (954 H). Inilah syarah yang paling besar dan paling terkenal.
  2. Syarah Al Khurasyi/ Fathul Jalil,karangan Muhammad bin Abdillah Al Khurasyi (1101 H).
  3. Al Iklil,karangan Syeikh Muhammad Al Amir (1232 H).

4)      Adz Dzakhirah,karangan Syihabuddin Ahmad bin Idris Al Qurafi (684 H). Kitab ini termasuk kitab yang sangat mu’tamad, kaya dengan dalil dan hujjah.

 

c. Dalam Mazhab As Syafi’i:

Dalam mazhab imam As Syafi’i kitab-kitab sangat;ah banyak. Berikut urutan kitab-kitab yang muktamad dan dapat dijadikan hujjah dalam mazhab Imam As Syafi’i. Dilihat dari segi para pengarangnya maka urutannya adalah sebagai berikut:

1)      An Nawawy (676 H) dan Ar Rafi’i (623 H):  para ulama muhaqqiq telah berijma’ (sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al Haitami), bahwa kitab-kitab yang terdahulu sebelum Imam An Nawawy dan Imam Ar Rafi’i tidak dipegang kecuali setelah penelitian yang sempurna dan berat dugaan bahwa itulah yang rajih dalam mazhab Asy Syafi’i.

  1. Hal tersebut adalah dalam masalah yang tidak ada nashnya dalam kitab keduanya. Sedangkan jika dalam satu masalah ada nashnya dalam kitab keduanya, maka yang mu’tamad adalah apa yang disepakati oleh keduanya.
  2. Jika keduanya berikhtilaf, maka yang ada dalil yang lebih kuat ialah yang lebih kuat, namun jika tidak didapatkan dalil rajihnya atau keduanya sama-sama memiliki dalil rajih, maka yang mu’tamad adalah perkataan Imam An Nawawy.

Diantara kitab yang dikarang oleh Imam An Nawawi adalah: Al Majmu’ syarh Al Muhadzzab, Raudhatut Thalibin, Minhajut Thalibin. Sedangkan Imam Ar Rafi’i diantara kitab karangan beliau adalah: Al Muharrar, Al ‘Aziz (Fathul ‘Aziz).

2)      Ibnu Hajar Al Haitami (973 H) dan Ar Ramli (1004 H): para ulama mutaakhirun dalam mazhab Syafi’i berkata: bahwa yang mu’tamad setelah Imam An Nawawy dan Imam Ar Rafi’i adalah Imam Ibnu Hajar Al Haitamy dan Imam Ar Ramli. Tidak boleh berfatwa dengan melanggar keduanya, terutama kitab Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar, dan Nihayatul Muhtaj karangan Ar Ramli. Hal ini karena kitab Nihayatul Muhtaj telah dibaca oleh 400 orang ulama di depan Ar Ramli, dan telah dikritik dan dibenarkan, sehingga menjadi bilangan mutawatir. Sedangkan Tuhfatul Muhtaj telah dibaca oleh bilangan ulama yang takterhitung lagi banyaknya.

Jika keduanya berselisih, maka ulama Mesir mengambil pendapat Ar Ramli, sedangkan ulama Hadramaut, Syam, kebanyakan Yaman da Hijjaz mengambil pendapat Ibnu Hajar. Para ulama telah menuliskan ikhtilaf keduanya dalam banyak karangan, diantaranya kitab Itsmidul ‘Ainain Fi Ba’dhi Ikhtilafisy Syeikhain karangan Syeikh ‘Ali Bashbirin, Fathu Al ‘Aliyy Bi Jam’I Al Khilaf baina Ibni Hajar wa Ibni Ar Ramli karangan As Syarif Umar Bafaraj.

3)      Syeikhul Islam Zakaria Al Anshari (925 H): jika dalam sebuah masalah tidak ada nashnya dalam kitab-kitab karangan Ibnu Hajar dan Ar Ramli, maka yang mu’tamad adalah perkataan Syeikh Zakaria Al Anshari. Diantara kitab karangan beliau adalah: Manhaj mukhtashar Minhajuth Thalibin, Syarhul Manhaj, Syarhu Ar Raudh, Syarhul Bahjah, dan Tahrir Talqihil Lubab Wa Syarhuh.

4)      Syeikh Al Khatib Asy Syarbaini (977 H): Beliau memiliki kitabMughni Al Muhtaj, dan Al Iqna’ Syarh Matan Abi Syuja’, kedua kitab ini sangat masyhur dan telah banyak dicetak. Karena kitab ini memiliki uslub yang lebih mudah daripada kitab Tuhfah dan Nihayah.

5)      Hasyiyah Az Ziyadi

6)     Hasyiyah Ibnu Qasim Al ‘Abbadi atas Tuhfatul Muhtaj

7)      Hasyiyah Syeikh ‘Umairah atas Syarh Al Mahalli

8)     Hasyiyah Syeikh  As Syabramalsiatas Nihayatul Muhtaj

9)     Hasyiyah Syeikh Al Halabi

10)  Hasyiyah Asy Syubarri

11)  Hasyiyah Al ‘Annani.

 

d. Mazhab Hanbali:

1)     Mukhtashar Al Khiraqy; karangan Abul Qasim Umar bin Al Husein bin Abdullah (334 H). Kitab ini termasuk kitab yang pertama sekali ditulis dalam fiqh Hanbali. Dan kitab ini adalah kitab yang paling banyak diteliti dan diperhatikan oleh para ulama.

2)      Al Mughni; karangan Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (620 H). Kitab ini adalah syarah Mukhtashar Al Khiraqy yang paling terkenal dan paling besar. Kitab Al Mughni ini juga merupakan kitab Fiqh Muqaran (fiqh Perbandingan), untuk mengetahui pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka.

3)      Syarah Muntahal Iradat yang bernamaDaqa-id Ulin Nuha; kedua-duanya adalah karangan Ulama Hanbali di Mesir Syeikh Mansur Al Buhuty (1051 H).

4)      Syarah Al Kabir atau dikenal juga dengan Asy Syafi; karangan Imam Syamsuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi (682 H), merupakan syarah kitab Al Muqni’ karangan Muwaffiquddin Ibnu Qudamah (620 H).

5)      Ar Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustanqi’,karangan Ulama Hanbali di Mesir Syeikh Mansur Al Buhuty (1051 H).

 

  1. Pokok-pokok Masalah Yang Dikaji

Permasalahan-permasalahan yang dibebankan kepada para mukallaf, seperti ucapan kita: shalat itu wajib, para pelaku transaksi jual beli berhak untuk memilih selama belum berpisah.

Secara umum kajian ilmu Fikih mencakup tujuh bahasan:

  1. Bahasan terkait ibadah: yaitu berhubungan dengan shalat, puasa, Zakat, Haji dan lainnya hal-hal yang terkait dengan ibadah kita kepada Allah SWT.
  2. Bahasan terkait Ahwal Syakhshiyah: yaitu terkait dengan hukum keluarga, pertunangan, nikah, perceraian, nasab, wasiat, warisan dan lainnya.
  3. Bahasan terkait Muamalah: yaitu terkait dengan jual beli, sewa menyewa, pinjam, utang piutang dan lain-lain
  4. Bahasan terkait Siyasah Syar’iyah: yaitu terkait dengan penegakkan kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam. Dinamakan juga dengan Al Ahkam As Sulthaniyah.
  5. Bahasan terkait ‘Uqubat/Jinayat: yaitu berhubungan dengan hukuman pidana dalam Islam
  6. Bahasan terkait Huquq Ad Daulah Al Ammah: yaitu berhubungan dengan diplomasi antar Negara, tata cara perang dan lain-lain. Dinamakan juga dengan As Siyar.
  7. Bahasan terkait Adab: yaitu tentang hubungan etika personal dengan lainnya dalam kehidupan.

 

  1. Sebutan Resmi

Dinamakan dengan ilmu Fiqh, ilmu Furu’, ilmu Ahkam

 

  1. Hukum Mempelajari

Ilmu Fikih termasuk salah satu dari ilmu Fardhu ‘Ain yang tiga, yaitu: Tauhid, Fikih dan Tasawwuf.

Namun ilmu Fikih yang fardhu ‘ain hanya mencakup ibadah wajib, yang dibutuhkan dalam transaksi muamalah dan pernikahan sehingga menjadi sah.

Ilmu Fikih menjadi Fardhu Kifayah jika mempelajarinya hingga mencapai derajat mampu memberi fatwa.

Dan Ilmu fikih menjadi Sunnah jika mempelajarinya lebih dari sekedar Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah.

 

Wallahu A’lam

 

Beberapa Rujukan Penting:

  • Ahmad Taimur Basya,Nazharah Tarikhiyah fi Hudutsi Al Madzahib Al Fiqhiyah Al Arba’ah, Dar Al Qadiri – Beirut; 1411 H – 1990 M.
  • Al Bujairimi, Al Bujairimi ‘Ala Al Khatib, Dar Al Kutub Al Ilmiyah – Beirut; Cetakan I, 1417 H / 1996 M.
  • Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi,Tabshir An-Nujaba Bi Haqiqat Al-Ijtihad wa At-Taqlid wa At-Talfiq wa Al-Ifta’, Dar Al Hadis – Kairo, 1415 H – 1995 M.
  • Nuruddin Ali bin Abdullah bin Ahmad As-Samhudi, Al ‘Iqd al-Farid Fi Ahkam at-Taqlid, Dar Al Minhaj – Jeddah; 1432 H – 2011 M.
  • Waliyyullah Ad Dahlawi, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, Dar An Nafa-is – Beirut; Cetakan III, 1406 H / 1986 M.

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.