-Fikih Fikih Ibadah Konsultasi Syariah Bersama Ustadz

Apakah Semua Bidah Itu Sesat?

Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustadz…

Saya mau tanya terkait bid’ah itu gimana ya Pak Ustadz? Kita ada maulid dan beberapa hal yang tidak ada pada Nabi Saw. Bukankah dalam hadis dikatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat? Mohon petunjuknya Pak Ustadz. Saya ditanya sama teman pun tidak bisa menjawabnya.. Terimakasih

Candra Jefriyanto

 

Jawaban:

Wa’alaikum Salam Wr Wb.

Pertanyaan menarik saudara Candra. Berikut akan saya paparkan permasalahan terkait bid’ah dan bagaimana pemahaman yang benar terhadap hadis yang ditanyakan. Lalu bagaimana sebuah bid’ah dikatakan sesat.

A. DEFINISI BID’AH

Bid’ah secara bahasa:

Bid’ah dari sudut bahasa adalah sebuah isim (sebuah bentuk nama benda) dari kata “Ibtida’: yang bermakna: sesuatu yang baru, atau mengerjakan sesuatu yang tidak ada contoh dari sebelumnya. Karena itu diantara nama Allah SWT adalah: “Al Badi’” , karena Allah Pencipta segala sesuatu dari sebelumnya tidak ada menjadi ada. Firman Allah SWT:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“ Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah!” lalu jadilah ia”. (QS. AL Baqarah: 117).

Allah juga berfirman:

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. (QS. AL Ahqaf: 9).

Makna bid’ah secara bahasa ini tidak ada khilaf dikalangan ulama, yaitu: inovasi/kreasi baru yang belum ada contoh sebelumnya. Maka bid’ah dengan makna ini mencakup hal yang baik (mahmudah) ataupun yang buruk (mazmumah). Dan dari makna ini juga kata bid’ah di dalam Islam meliputi hukum Islam yang lima: Wajib, Sunah, Mubah, Makruh dan Haram.

Maka secara bahasa bid’ah berarti segala sesuatu yang baru diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, baik berkaitan dengan urusan agama: akidah, ibadah dan muamalat, maupun yang berkaitan dengan urusan dunia dan kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Para ulama sepakat dalam memahami makna bid’ah secara bahasa. Sehingga mereka setuju mengatakan bahwa secara bahasa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang sayyi-ah. (Mafhum Al Bid’ah, hal. 61-62).

Bid’ah secara Istilah:

Berbeda dengan pengertian Bid’ah secara bahasa, para ulama berbeda-beda pendapat mereka terkait makna Bid’ah secara istilah. Pengertian yang dapat dikatakan tepat sesuai dengan dalil-dalil syar’i secara umum Bid’ah adalah: “Perbuatan yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, dan ia terbagi kepada wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Ketentuan yang mana dari kelima hukum syariat tersebut adalah dengan melihat kepada keseluruhan kaidah-kaidah syara’”. (Qawa’idul Ahkam; Izzuddin Abdussalam, j.2 hal.172-174).

Adapula ulama yang mendefinikan bid’ah dengan definisi berikut, yaitu: “Segala sesuatu yang baru diciptakan, yang bertentangan dengan dasar-dasar agama dan melawan nash-nashnya, dan ia khusus dalam perkara-perkara agama bukan dalam perkara-perkara dunia”. Dengan demikian bid’ah dalam makna ini semuanya adalah dhalalah (sesat).

B. SEMUA BID’AH ITU SESAT

Diantara hadis yang isinya berupa larangan Rasulullah Saw kepada umat untuk melakukan bid’ah, adalah hadis yang sangat populer di tengah-tengah kita:

عن الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، يَقُولُ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ، فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ، فَقَالَ: «عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
رواه ابن ماجه

Dari Irbadh’ bin Sariyah ia berkata: Suatu hari Rasulullah Saw berdiri memberikan nasihat yang sangat luar biasa, menggetarkan hati, meneteskan air mata. Lalu beliau ditanya: Wahai Rasulullah… Engkau telah menasehati kami seolah-olah nasehat terakhir. Berikanlah kami suatu nasehat sebagai pegangan. Rasulullah Saw bersabda: “Bertakwalah kamu kepada Allah, dengar dan patuhilah pimpinan walau ia seorang budak dari Habsyah. Dan kalian akan melihat setelahku banyaknya pertikaian (perselisihan). Maka di waktu itu berpegangteguhlah dengan sunnahku, dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah keduanya dengan gigi gerahammu. Dan hindarilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap yang baru (bid’ah) adalah sesat”.

Hadis ini dan yang seumpamanya jika difahami dengan teksnya saja tanpa mengabaikan hadis-hadis yang lain, dan tanpa menoleh kepada komentar para ulama terhadapnya, akan menjadikan kita dengan mudahnya menuduh saudara-saudara muslim dengan semena-mena, “kamu bid’ah”, “kamu sesat”, atau bahkan “kamu kafir sebab buat ajaran baru”, “kamu tidak ikut Rasulullah” dan lain-lain. Padahal mereka tidaklah seperti yang mereka tuduhkan. Berikut beberapa perkataan ulama yang muktabar, agar kita tidak salah dalam memahami konteks hadis di atas:

 

C. PANDANGAN ULAMA TERKAIT HADIS: SEMUA BID’AH ADALAH SESAT

Terdapat banyak nas dari karangan para ulama dalam memahami hadis bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat). Saya akan nukilkan dua ulama di samping banyak rujukan lainnya:

Pertama: Perkataan Imam As Syafi’I dalam memahami bid’ah:

وَجَاءَ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبِهِ قَالَ الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثُ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالِ وَمَا أُحْدِثُ مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ انْتَهَى (فتح الباري 13/253)

Imam As Syafi’I pernah diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Al Manaqib bahwa beliau berkata: “Perkara yang baru itu ada dua: sesuatu yang baru yang bertentangan dengan Alquran, As Sunnah, Atsar dari Shabat, atau Ijma’ para ulama. Maka inilah yang dinamakan dengan “Bid’ah Dhalalah”. Sedangkan yang baru berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan sesuatu apapun dari sumber hukum Islam maka ia sesuatu yang baru yang tidak tercela. (Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathu Al Bari, jilid 13, hal. 253).

 

Kedua: Perkataan Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali

قال الحافظ بن رَجَبٍ فِي كِتَابِ جَامِعِ الْعُلُومِ وَالْحِكَمِ فِيهِ تَحْذِيرٌ لِلْأُمَّةِ مِنَ اتِّبَاعِ الْأُمُورِ الْمُحْدَثَةِ الْمُبْتَدَعَةِ وَأَكَّدَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً

Berkata Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ Al Ulum wa Al Hikam: Hadis tersebut berkaitan dengan peringatan bagi umat untuk tidak mengikuti perkara-perkara baru yang dibuat-buat, dan hal ini kembali dikuatkan dengan sabda beliau Saw. “Setiap bid’ah (yang baru) adalah sesat”. Dan yang dimaksudkan dengan Bid’ah di sini adalah yang dibuat-buat tanpa ada landasannya di dalam syariat. Adapun yang terdapat dalil dari syara’ maka ia bukanlah bid’ah secara syara’, namun dapat dikatakan bid’ah hanya sebatas bahasa.

وَأَمَّا مَا وَقَعَ فِي كَلَامِ السَّلَفِ مِنَ اسْتِحْسَانِ بَعْضِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْبِدَعِ اللُّغَوِيَّةِ لَا الشَّرْعِيَّةِ فَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ إِنْ كَانَتْ هَذِهِ بِدْعَةً فَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَمِنْ ذَلِكَ أَذَانُ الْجُمُعَةِ الْأَوَّلِ زَادَهُ عُثْمَانُ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهِ وَأَقَرَّهُ عَلِيٌّ وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ
وَرُوِيَ عَنِ بن عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ هُوَ بِدْعَةٌ وَلَعَلَّهُ أَرَادَ مَا أَرَادَ أَبُوهُ فِي التَّرَاوِيحِ انْتَهَى مُلَخَّصًا (عون المعبود 12/235، وتحفة الأحوذي 7/366)

Adapun yang diucapkan oleh para salafunas shaleh dengan menganggap baik pada sebagian urusan bid’ah, maksud mereka adalah bid’ah secara bahasa (yaitu sesuatu yang baru) bukan bid’ah secara syari’ah (yang bermakna sesat). Diantaranya adalah ucapan Umar Ra tentang shalat Terawih: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan: “Jikalau ini sebuah bid’ah, maka inilah sebaik-baik bid’ah”. Demikian pula azan Jumat yang pertama (sebelum khatib naik mimbar) merupakan tambahan dari Usman mempertimbangkan kebutuhan manusia di waktu itu, sehingga disetujui dan dilanjutkan oleh Ali dan berkelanjutan pengamalannya oleh kaum muslimin.

Abdullah bin Umar juga pernah mengatakan “Bid’ah” , boleh jadi maksud kata bid’ah tersebut adalah makna yang dimaksudkan oleh ayah beliau terkait shalat Terawih. (Aunul Ma’bud, jilid 12, hal. 235, dan Tuhfatu Al Ahwadzi, jilid 7, hal. 366).

 

D. KAPANKAH BID’AH BOLEH DIKATAKAN DHALALAH (SESAT)?

Terdapat 3 ketentuan jika terdapat pada suatu perkara yang baru maka perkara baru tersebut dikatakan bid’ah dhalalah, yaitu:

1. Perkara baru tersebut tidak ada contohnya pada masa Nabi SAW, para sahabat RA dan juga Salafunas Shaleh

2. Pencetus perkara yang baru tersebut berniat melakukannya sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT

3. Perkara baru tersebut dibuat untuk menandingi agama, merubah tata cara baik dengan mengurangi atau menambahkannya.( Mafhum Al Bid’ah Wa Atsaruhu Fi Idhthirab Al Fatawa Al Mu’ashirah, … hal. 367).

 

E. Diantara bentuk bid’ah dhalalah adalah:

1. Keyakinan dan I’tiqad batil dalam perkara pokok agama, seperti: menyerupakan Allah SWT dengan makhluk, wahdatul wujud, mengatakan Al Quran tidak lengkap dan terdapat tahrif (perubahan dari aslinya).

2. Merubah bentuk-bentuk ibadat baik dengan penambahan maupun pengurangan. Seperti menambahakan jumlah rakaat shalat fardhu, merubah lafazh azan, menjadikan sujud sebelum ruku’.

3. Merubah waktu dan tempat ibadah yang telah disyariatkan, seperti puasa hanya hingga waktu ashar, berpuasa pada hari raya, wukuf tidak di Arafah.

4. Meyakini keutamaan waktu dan tempat khusus tanpa ada dalil yang benar.

5. Menciptakan suatu ibadah dengan tata cara yang khusus, bilangan yang khusus, dengan pahala yang khusus. Seperti shalat Ragha-ib 12 rakaat pada malam Jumat pertama bulan Rajab.

Wallahu A’la Wa A’lam

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.