Home / Konsultasi Syariah Bersama Ustadz / Kontroversi Patung dalam Islam: Antara Simbol, Seni, dan Hukum Fiqih

Kontroversi Patung dalam Islam: Antara Simbol, Seni, dan Hukum Fiqih

Assalamualaikum Wr Wb.

Pak Ustadz… Di kota kita ada kebijakan Bapak Wali yang membuat patung Elang sebagai symbol asal nama kota kita. Sementara ada beberapa tokoh yang sangat anti dengan patung tersebut lalu mengekspos kemana-mana menentang kebijakan ini. Jadi sebenarnya apa hukumnya Pak Ustadz? Sedikit tambahan info patung burung Elang tersebut ada lubang-lubangnya. Terimakasih.

Wassalam

Jemaah Pengajian

Jawaban:

Tujuh Amalan Terbaik Di Sepuluh Akhir Ramadhan

Wa’alaikum Salam Wr Wb.

Terkait masalah ini ada beberapa hal penting yang harus disampaikan:

Pertama: Terkait hukum patung manusia atau hewan dalam syariat Islam, para ulama berbeda pendapat kepada tiga pendapat:

1.     Pendapat pertama: bahwa patung tidak bermasalah dan tidak haram selama bukan patung untuk sembahan. Diantara dalil mereka adalah: QS. As Shaffat: 95-96.

قَال أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Bolehkah Puasa Enam Dilakukan Bersama Puasa Qadha?

“Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu ? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”

Dalil selanjutnya adalah hadis Nabi Saw:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada ahri kiamat adalah para pembuat patung”. (HR. Al Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud Ra.).

Pemahamannya: Bahwa sekiranya dengan membuat patung atau gambar seseorang memiliki dosa yang paling besar niscaya bertentangan dengan dalil lain baik dari ayat Alquran maupun dari Sunnah bahwa Syirik adalah dosa yang paling besar. Maka ketika dalam hadis shahih tersebut dikatakan bahwa membuat patung atau gambar mendapat azab yang paling pedih adalah maksudnya patung yang dijadikan sembahan selain Allah Swt. (dosa syirik). Pendapat ini disebutkan oleh Imam Al Alusi dalam Tafsirnya Ruh Al Ma’ani, jilid 22, hal. 19.

Dari Makanan ke Iman: Bagaimana Konsumsi Halal Mempengaruhi Hati dan Ibadah

2.    Pendapat kedua: bahwa patung dan gambar tidak diharamkan kecuali terdapat tiga hal:

1.     Patung tersebut berbayang. Pahatan di dinding, atau ukiran di baju tidaklah haram sebab tidak berbayang.

2.     Patung tersebut sempurna anggota tubuhnya. Jika kurang anggota tubuhnya tidak akan dapat hidup dengan kondisi demikian maka tidak haram. Seperti gambar hewan tanpa kepala, atau berlubang perut dan dadanya.

3.     Patung tersebut bertahan lama, seperti yang terbuat dari besi, tembaga, batu atau kayu atau seumpamanya. Jika dibuat dari sesuatu yang tidak bertahan lama seperti kulit semangka, adonan tepung tidak bermasalah, sebab akan putus dan rusak dengan sendirinya ketika kering.

Pendapat ini adalah pendapat imam Malik, pendapat sebahagian salafunas shaleh, Ibnu Hamdan dari mazhab Hanbali dan lainnya.

3.     Pendapat Ketiga: bahwa membuat patung dari semua bentuk yang memiliki  ruh adalah haram, baik memiliki bayang maupun tidak. Inilah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Dengan demikian dapat difahami bahwa para ulama berbeda pendapat terkait masalah ini. Adapun dugaan bahwa terdapat Ijmak ulama yang mengatakan patung itu haram, patut diragukan. Alasan kuatnya adalah: bahwa terdapat mazhab Maliki yang mengatakan bahwa patung tidak haram kecuali terpenuhi tiga syarat seperti yang telah disebutkan di atas.

Nas Penting Dalam Mazhab Syafi’I Yang Membolehkan Patung Tanpa Kepala:

Uniknya dalam mazhab imam As Syafi’I terdapat nash di dalam Hasyiyah As Syarwani terhadap kitab Tuhfatul Muhtaj beliau berkata: bahwa patung yang terpotong kepala tidak haram. Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj jilid 7, hal. 434 mengatakan bahwa alasan patung yang tidak berkepala tidak haram:

لِزَوَالِ مَا بِهِ الْحَيَاةُ

“Sebab hilang anggota tubuh yang dengannya dapat bertahan hidup”.

Dan Imam As Syarwani dalam Hasyiyahnya terhadap Tuhfah dalam jilid dan halaman yang sama menjelaskan dan mengembangkan nas Ibnu Hajar Al Haitami dengan mengatakan:

كَقَطْعِ الرَّأْسِ هنا فَقْدُ كُلِّ مَا لاَ حياةَ بِدُوْنِهِ

“Persis seperti hukum terpotong kepala, hilangnya segala sesuatu yang tidak akan hidup tanpanya”.

Maka dengan penjelasan di atas semakin meyakinkan kita bahwa ada hal-hal yang disepakati oleh para ulama, dan ada juga perkara-perkara yang diperselisihkan oleh para ulama.

Maka apabila anda cenderung dengan satu pendapat, tidak boleh anda memaksakan orang lain mengikut pendapat anda. Sebab para ulama telah mengatakan:

لاَ يُنْكَرُ إِلاَّ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ

“Tidak layak anda pungkiri kecuali jika telah disepakati oleh para ulama”.

Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan:

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ الَّذِي قَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ فَلَا تَنْهَهُ

“Jika kamu melihat seseorang yang melakukan amalan yang diperselisihkan oleh para ulama, dan kamu berpendapat lain, janganlah kamu melarangnya”. (Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani, Hilyatu Al Awliya’ wa Thabaqatu Al Ashfiya’, Beirut: Dar Al Kitab Al Arabi, 1409 H, jilid 6, hal. 368).

Dengan patung Elang yang tersebut di dalam soal di atas bahwa memiliki banyak lubang maka semakin jelas hukumnya terutama dalam mazhab kita sendiri yang mengatakan tidak mengapa, sebab jikalaupun memiliki ruh maka burung elang tersebut tidak akan bisa hidup.

Perkara Kedua Yang Ingin Saya Sampaikan:

Bahwa jika seorang pemimpin dalam hal ini adalah Walikota telah memilih salah satu dari pendapat yang ada maka keputusannya layak diambil perhatian untuk dihormati. Sebab Imam As Suyuti dalam Al Asybah wa An Nazha-ir hal. 497 mengatakan:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan seorang pemimpin mesti (diikuti) dan menghilangkan perselisihan”.

Maksud dari pada kaidah ini adalah: bahwa jika dalam suatu masalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, maka kebijakan dan keputusan dari seorang pemimpin dihormati dan mengangkat perselisihan yang ada.

Sebab jika perkataan pemimpin tidak dipatuhi dan justeru dijadikan bahan lelucon maka akan hilang kewibawaan pemimpin kaum muslimin, dan ini adalah fitnah yang besar tidak sesuai dengan wasiat Rasulullah Saw untuk taat kepada pemimpin.

Perkara Ketiga Yang Ingin saya Sampaikan, bahwa: siapapun yang ingin memberikan ide ataupun hal terbaik kepada seorang pemimpin terlebih pemimpin daerah maka hendaknya dijaga adab-adabnya untuk menjaga kebaikan bersama. Inilah tanda seseorang berniat baik atau tidak. Ketika seseorang berniat baik maka ia akan menasehati dengan cara yang baik, bukan mempermalukan orang lain terlebih lagi seorang pemimpin. Ingatlah pesan Rasulullah Saw:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Jika kamu ingin menasehati seorang pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah ia lakukan secara terang-terangan. Akan tetapi peganglah tangannya, lalu pergi ke tempat yang sunyi. Jika nasehatnya diterima maka itulah (harapannya), jika tidak diterima maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati pemimpin)”. (HR. Ahmad, no. 15333, Hasan Shahih).

Mudah-mudahan kajian singkat ini bermanfaat, dan menjadi suluh penerang di tengah banyaknya permasalahan di masyarakat kita. Dan kiranya kewajiban saya untuk menyampaikan kebaikan telah saya laksanakan.

Wallahu A’la wa A’lam

Sumber Bacaan:

–         Al Asybah Wa An Nazha-ir

–         Al Kawakib Ad Durriyah ‘Ala Matni Al ‘Izziyah

–         Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah

–         Tuhfatu Al Muhtaj wa Hawasyiyaha.  Dan lain-lain.