-Fikih Fikih Makanan dan Minuman

Wajib Dibaca: Ini Dia 21 Hukum Fiqih Yang Erat Kaitannya Dengan Pelaksanaan Qurban

raya-aidiladha

Menyembelih hewan qurban setelah shalat Idul Adha pada hari raya Idul Adha demikian pula hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijjah) merupakan ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah Swt.

Ibadah qurban ini pertama sekali disyariatkan pada tahun kedua hijriah bersama syariat puasa, zakat, dan shalat dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (Lihat: al Mausu’ah al Islamiyah al Ammah hal. 164).

Tentang keutamaan Qurban Rasulullah Saw bersabda:

ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم ، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها ، وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفساً

“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh seorang anak Adam yang lebih dicintai Allah dari pada menumpahkan darah (qurban), sesungguhnya ia akan datang dengan tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya darah akan diletakkan Allah di suatu tempat sebelum jatuh ke bumi. Berbahagialah jiwa dengan qurbannya”.
(HR. At Tirmidzi hadits no. 1493 dari ibunda Aisyah Ra dan dishahihkan oleh al Hakim dalam Mustadraknya hadits no. 7523).

Hukum Qurban:

Ibadah Qurban hukumnya adalah Sunnah Muakkadah karena senantiasa dikerjakan oleh Nabi Saw demikian menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Hal ini berdasarkan banyak dalil diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam al Bukhari no. 5558 dan imam Muslim no. 1966 dari Anas bin Malik Ra ia berkata:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Rasulullah Saw telah berqurban dengan dua ekor kambing yang bagus warnanya dan bertanduk. Beliau sembelih sendiri lalu beliau membaca basmalah dan bertakbir seraya meletakkan sebelah kaki beliau di atas leher kambing tersebut”.

Ibnu Majah dalam Sunannya hadits no. 3123 juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Siapa yang memiliki kelapangan rezeki namun ia tidak berqurban, maka hendaknya ia tidak mendekati tempat shalat Id kami”.

Namun Hanafiyah mengatakan qurban itu wajib berdasarkan hadits Abu Hurairah tersebut. Adapun dalil Jumhur Ulama bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan wajib adalah sebab adanya hadits berikut ini:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ»

Dari Umi Salamah bahwa Nabi Saw bersabda: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijjah dan kalian ingin berqurban hendaknya ia jaga (agar tidak dipotong) rambutnya dan kukunya”. (HR. Muslim no. 1977).

Hadits ini menunjukkan bahwa qurban itu hukumnya sunnah dan tidak wajib. Sebab sekiranya wajib niscaya Rasulullah Saw tidak menggantungkan ibadah qurban dengan keinginan mukallaf namun kepada keinginan Syari’.

Selanjutnya dalam mazhab imam as Syafi’i Qurban hukumnya Sunnah kifayah. Maksudnya, bahwa: setiap keluarga pada setiap tahun hendaknya melaksanakan qurban minimal untuk satu orang. Jika satu orang telah melaksanakan qurban maka anggota keluarga di rumah tersebut tidak dituntut untuk melakukannya pada tahun tersebut. (Fathu al ‘Allam 5/121).

Dalil Syafi’iyah adalah hadits Mikhnaf bin Sulaim Ra yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dalam sunannya hadits no. 2788, imam at Tirmidzi dalam sunannya hadits no. 1518 dan Ibnu Majah dalam sunannya juga hadits no. 3125:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ

“Wahai manusia, setiap rumah hendaknya melaksanakan qurban pada setiap tahunnya”.

Qurban dapat berubah hukum menjadi wajib:

Dalam mazhab Imam As Syafi’i Ra, Qurban dapat berubah status menjadi wajib karena 2 hal:

1. Nazar, seperti: jika saya lulus di ujian ini maka saya akan berqurban tahun ini. Nazar tidak wajib jika belum diucapkan dengan lisan.

2. Ta’yin, yaitu: penentuan terhadap hewan yg telah menjadi miliknya untuk diqurbankan. Seperti: Ia menunjukkan seekor kambing yang telah menjadi miliknya lalu ia katakan kepada orang lain: Kambing ini akan saya qurbankan di tahun ini.

Dampak perubahan status Qurban dari sunnah muakkadah menjadi wajib dalam mazhab Syafi’iyah adalah: bahwa jika Qurban itu masih berstatus sunnah muakkadah maka hewan qurban dianjurkan untuk dimakan oleh sang pemilik qurban, bahkan hewan qurban tersebut dapat dibagi tiga: sepertiga untuk dimakan oleh sang pemilik qurban, sepertiga kedua dihadiahkan kepada tetangga kerabat dan teman sejawat, dan sepertiga ketiga untuk disedekahkan kepada fakir-miskin.

Adapun jika Qurban itu menjadi wajib maka tidak boleh diperlakukan pada daging hewan qurban tersebut melainkan sepenuhnya menjadi sedekah untuk faqir dan miskin.(Lihat: Fathul ‘Allam jilid 5 hal. 121-122, Fiqh Al-Manhaji jilid 1 hal. 232).

Selanjutnya untuk melakukan ibadah Qurban ada ketentuan-ketentuannya tersendiri yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih. Berikut ini hukum-hukumnya agar ibadah qurban yang dilakukan tepat sesuai sasaran:

1. Hewan qurban adalah hewan ternak khusus tiga jenis: Unta, sapi/lembu/kerbau, kambing/biri-biri. Kuda dan rusa walau diternakkan tetap tidak boleh dijadikan hewan qurban.

2. Hendaknya hewan qurban adalah hewan yang sehat yang tidak kurang anggota tubuhnya sedikitpun terutama yang berkaitan dengan yang mengurangkan dagingnya. Adapun yang tidak bertanduk atau pecah tanduknya tidak menjadi masalah selama tidak membawa dampak kepada kurang dagingnya.

3. Hendaknya hewan tersebut cukup umur, dengan rincian sebagai berikut: Unta telah genap 5 tahun masuk tahun ke-6, sapi dan kambing telah genap 2 tahun dan mulai masuk tahun ke-3. Kecuali biri-biri disyaratkan telah genap 1 tahun dan masuk tahun ke-2, atau Ajda’ (yaitu yang telah rontok gigi depannya walau belum genap 1 tahun umurnya). Semua hitungan waktu tersebut adalah dengan hitungan tahun hijriyah.

4. Kambing dan biri-biri hanya untuk satu orang. Sedangkan lembu dan unta dapat dijadikan qurban untuk 7 orang. Walau demikian 1 lembu atau 1 unta boleh dijadikan qurban bagi 1 orang.
Bahkan urutan terbaik dalam qurban untuk 1 orang adalah sesuai dengan urutan berikut ini: 7 ekor kambing, 1 ekor unta, 1 ekor sapi, 1 ekor kambing, 1/7 unta, dan 1/7 sapi.

5. Sapi atau unta boleh untuk 7 orang dengan niat yang berbeda-beda. Boleh dalam hewan sapi tiga orang untuk kurban, seorang untuk akikah, seorang untuk dam haji tamattu’, seorang untuk menunaikan nazarnya dan seorang lagi untuk ia jual. Atau 1 orang yang memiliki 7 niat yang berbeda.

6. Lebih baik membeli satu ekor kambing besar dengan harga 100 dirham daripada membeli dengannya dua ekor kambing kecil. Dengan demikian seseorang yang memiliki uang 5 juta rupiah untuk berkurban, lebih baik baginya membeli seekor kambing besar daripada membeli dengannya 2 ekor kambing yang kecil-kecil.

7. Boleh menjadikan hewan betina sebagai kurban, demikian pula hewan khuntsa (tidak jelas jantan atau betina) boleh dijadikan hewan kurban. Sebab baik ia jantan atau betina hukumnya boleh, begitu pula jika ia samar-samar antara jantan atau betina.

8. Warna terbaik adalah putih, kuning, abu-abu (yg krg jelas warna putihnya) عفراء, merah, belang بلقاء, lalu hitam.
Mengapa dengan urutan tersebut? Sebagian ulama mengatakan litta’abbud sebab ada perintah dan anjuran dari Rasulullah Saw. Ada pula yang beralasan karena cantik warnanya, dan ada pula ulama yang mengatakan urutan tersebut disebabkan urutan baik dan enak dagingnya.

لدم عفراء أحب إلى الله من دم سوداوين (أحمد والحاكم)
“Sungguh hewan qurban yang berwarna dekat kepada warna putih lebih Allah cintai daripada darah hewan qurban yang berwarna gelap”. HR. Ahmad dan al Hakim.

9. Tidak boleh hewan yang hamil karena kurus. Tidak boleh dikatakan boleh digantikan dengan janinnya, sebab adakalanya janinnya hanya segumpal darah atau segumpal daging, berbeda dengan al khashi tergantikan dagingnya.
Demikian pula tidak boleh hewan yang baru melahirkan atau sedang menyusui karena dagingnya yang kurang.

10. Tidak masalah yang tidak bertanduk baik bawaannya جلحاء atau yang pecah selama tidak bermasalah ke dagingnya.
Namun demikian hewan yang bertanduk lebih utama dijadikan hewan kurban.
خير الضحية الكبش الأقرن (الحاكم)
“Sebaik-baik qurban adalah kambing jantan yang bertanduk”.

11. Hendaknya hewan qurban tersebut benar milik orang yang ingin berqurban. Jika hewan qurban milik seseorang lalu diniatkan untuk orang lainnya tidak dibolehkan kecuali setelah mendapatkan izin dari orang yang hendak kita laksanakan qurban baginya. Karena qurban ini ibadah tidak sah kecuali dengan seizin pelaksananya. Sebagainana halnya pada zakat fitrah.

12. Niat qurban mestilah ada. Sebab penyembelihan hewan adakalanya untuk dijual, atau untuk sekedar dimakan.

13. Dianjurkan niat tersebut beriringan dengan sembelihan. Kecuali telah disebutkan sebelumnya sambil menunjuk ke arah hewan qurbannya dengan mengatakan: kambing ini akan saya jadikan qurban untuk saya baik ketika membelinya atau ketika memisahkannya dari hewan-hewan ternaknya.

Boleh pasang niat kurban sebelum dipotong atau ketika diberikan kepada yang mewakilinya dalam pemotongan dengan syarat hewan kurbannya telah ia tentukan. Jika niatnya sebelum ia memiliki binatang qurbannya atau sudah ada namun belum ia tentukan maka niatnya tidak dianggap sah.

14. Makruh menyembelih hewan qurban di malam hari: ada pendapat alasannya: litta’abbud, ada yang mengatakan takut tersalah, ada juga ulama yang beralasan bahwa fakir miskin biasanya tidak hadir di tempat pemotongan sebagaimana hadirnya mereka di siang hari.

15. Memakan daging hewan kurban:
Disunnahkan memakan daging hewan kurban sunat karena hadits:
أنه صلى الله عليه وسلم كان يأكل من كبد أضحيته (البيهقي)
“Adalah Rasulullah Saw memakan bagian hati dari qurbannya”. (HR. Al Baihaqi).

Tidak wajib memakannya karena Allah Swt berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya”. (QS. Al Hajj ayat 36).

Ketika Allah Swt jadikan unta tersebut untuk manusia, maka mukallaf boleh memilih antara memakannya atau meninggalkannya.

Namun demikian tidak boleh memakan daging qurban wajib begitu pula daging qurban yang diniatkan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Karena hewan qurban ketika diniatkan untuk orang lain menjadi milik orang yang diniatkan tidak lagi milik si pemberi hewan qurban tersebut, sehingga tidak boleh dikonsumsi melainkan dengan seizinnya dan itu tidak mungkin sebab ia telah meninggal dunia. Maka harus disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.

16. Orang kaya dan pemilik qurban tidak boleh melakukan jual beli atau menjadikan upah bagi orang lain dari daging hewan qurban sunat. Ia hanya diizinkan sebatas boleh makan saja. Kecuali kurban dari Imam (pemerintah) yang diambil dari Baitul Mal maka boleh diperjualbelikan. (Lihat: Mughni al Muhtaj 4/290).
Sedangkan faqir miskin boleh melakukan jual beli pada daging dari qurban setelah ia menerimanya terlebih dahulu.

17. Daging qurban harus diberikan mentah tidak boleh dimasak.

18. Boleh menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari.

19. Tidak boleh berqurban untuk orang lain tanpa seizinnya. Karena ia adalah ibadah, seperti zakat fitrah. Kecuali kepala keluarga berqurban untuk keluarganya sendiri.

20. Tidak boleh berqurban untuk bayi dalam kandungan sama seperti zakat fitrah. Demikian pula seorang wali tidak boleh berqurban untuk yang diwalikannya jika harga hewan qurban tersebut diambil dari harta yang dia bertanggung jawab ke atasnya seperti dari harta anak yatim atau mahjur alaih (orang tidak punya kuasa terhadap hartanya sendiri, seperti: anak kecil, orang gila, terlalu boros harta dan lain-lain).

21. Tidak ada qurban untuk orang meninggal jika ia tidak berwasiat demikian dalam mazhab imam as Syafi’i. Namun Jumhur Ulama membolehkannya walaupun tanpa wasiat, karena ia adalah kurban adalah sedekah sehingga diharapkan dapat memberi manfaat bagi mayit, pendapat Jumhur ini juga didukung oleh sebahagian ulama Syafi’iyah. Demikian disarikan dari kitab Mughni al Muhtaj 4/ 282-293.

Wallahu A’la wa A’lam bis Shawab.

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.