-Fikih Fikih Ibadah Konsultasi Syariah Bersama Ustadz

Sahkah Azan Anak-anak Dan Orang Gila?

Bukan sebuah kemestian, namun selayaknya muadzzin adalah orang baik, shaleh, terpercaya, merdeka dan memiliki sifat-sifat kemuliaan lainnya. Sebab mereka bertugas memberitahukan berita penting tentang tibanya waktu shalat.

 

Assalamualaikum ustadz.

Izin bertanya:

1. Di dusun kami adzan Zhuhur dan Ashar boleh dibilang tidak terdengar karena tidak ada yang adzan karena bapak-bapaknya masih bekerja dan banyak aktifitas.
Jadi muncul solusi membuat jadwal adzan TPQ utk anak-anak yang sudah bisa adzan utk bergiliran mengumandangkan adzan.

Ternyata muncul masalah baru. Tokoh tetua di dusun ada yang tidak mengizinkan anak-anak adzan dengan alasan belum sunat. Sampai diumumkan di khotbah sholat jum’at.

Kami buntu di sini. Benarkah ada hadist yg melarang anak-anak adzan? Dengan alasan anak-ank blm baligh…blm bisa membersihkan dirinya?

2. Di kampung orang tua saya masih di Aceh lebih parah lagi, orang gila tapi suaranya merdu, sangking rusaknya pemuda di satu kampung itu sampai hari ini, mohon juga pencerahannya/solusi nya ustadz.
Syukron.?

Bu Afnina

Jawaban:

Wa’alaikum Salam wr wb.
Benar pertanyaan ini sering timbul di sebagian daerah kita, terkait azan anak kecil.
Berikut ini jawabannya..

Azan secara bahasa adalah pemberitahuan (al i’lam). Asal katanya dari udzun (telinga). Seolah-olah muadzzin menyampaikan suaranya ke setiap telinga yang diseru untuk melaksanakan shalat. (Al Majmu’ syarh Al Muhadzzab jilid 3, hal. 80-81).

 

Sejarah azan

Dahulu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul menunggu tibanya waktu shalat. Tidak ada seruan di waktu itu. Pada suatu hari mereka membicarakan: bagaimana jika kita jadikan bunyi lonceng sebagai panggilan shalat seperti orang Nasrani? Sebahagian mengatakan bagaimana jika terompet seperti orang Yahudi. Sehingga Allah Swt mensyariatkan azan melalui mimpi yang dilihat oleh Umar bin Al Khattab dan Abdullah bin Zaid Al Anshari. Lalu kedua mimpi tersebut dibenarkan oleh Nabi Saw. Dan beliau perintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan kali pertama. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Azan merupakan seruan shalat yang terdiri dari 19 kalimat. Dianjurkan setiap tiba waktu shalat yang lima. Kecuali azan Shubuh yang dianjurkan dua kali, kali pertama sebelum tiba waktu shalat, dan yang kedua seperti waktu shalat lainnya yaitu setelah tiba waktunya.

Menjadi seorang Muadzzin adalah sebuah kemuliaan. Bahkan kemuliaan mereka disebutkan oleh sebahagian ulama lebih daripada seorang imam shalat. Sebab Muadzzin orang terpercaya yang menyeru orang lain melaksanakan shalat. Sedangkan imam orang yang melaksanakan seruan dan ia juga menanggung kekurangan yang ada pada jamaah shalatnya.

Keutamaan muadzzin juga disebutkan Nabi Saw, diantaranya:

المؤذنون أطول الناس أعناقا يوم القيامة

“Para muadzzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat”. (HR. Muslim).

Juga hadis:

لا يسمع مدى صوت المؤذن جن ولا إنس ولا شيء إلا شهد له يوم القيامة

“Tidak sesuatu apapun yang sampai suara muadzzin baik jin, manusia, atau sesuatu lainnya, melainkan akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat”. (HR. Al Bukhari).

 

Syarat Yang Mesti Ada Pada Muadzzin

Terkait syarat muadzzin para ulama menyebutkan: hendaknya muadzzin adalah seseorang yang:
1. Muslim
2. Berakal.

Adapun terkait anak-anak dibolehkan azan mereka jika mereka telah mumayyiz, yaitu faham dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk terhadap perkara keseharian mereka.

Dalam kitab Al Muhadzzab jilid 3, halaman 106 Imam As Syairazi mengatakan:

ولا يصح الأذان إلا من مسلم عاقل، فأما الكافر والمجنون فلا يصح أذانهما؛ لأنهما ليسا من أهل العبادات، ويصح من الصبي العاقل؛ لأنه من أهل العبادات، ويكره للمرأة أن تؤذن، ويستحب لها أن تقيم؛ لأن في الأذان ترفع الصوت، وفي الإقامة لا ترفع الصوت. فإذا أذنت للرجال لم يعتد بأذانها؛ لأنه لا يصح إمامتها للرجال، فلا يصح تأذينها لهم

“Tidak sah azan kecuali dari seorang muslim yang berakal. Adapun orang kafir dan orang gila tidak sah azan mereka. Sebab keduanya bukan ahli ibadat.

Dan sah azan seorang anak kecil yang telah berakal, sebab ia orang yang sah ibadatnya.

Makruh azan bagi kaum wanita, dianjurkan bagi mereka hanya mengumandangkan iqamat. Sebab pada azan, suara dikeraskan, tidak demikian halnya pada iqamat kaum wanita.

Jika kaum wanita mengumandangkan azan untuk kaum lelaki tidak sah, sebab mereka tidak boleh menjadi imam bagi kaum lelaki. Maka demikian pula halnya dalam urusan azan”.

Dari nas tersebut dapat diambil beberapa perkara penting. Diantaranya terkait pertanyaan yang ditanyakan:

1. Azan dari anak kecil yang sudah mumayyiz (cerdas kira-kira 7 tahun) dibolehkan sebagaimana keimaman mereka dalam shalat juga boleh.
Kebolehan azan anak kecil mumayyiz ini adalah mazhab Imam As Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Mazhab Hanafi yang mengatakan tidak sah azan anak kecil mumayyiz demikian pula pendapat Daud Az Zhahiri.

2. Azan orang gila tidak sah. Karena ucapannya sering keliru, dan ia bukan orang yang dibebankan ibadah bahkan ibadah mereka pun tidak sah. Demikian pula azan orang yang mabuk, orang yang pitam (tidak sadarkan diri).

Dan terlepas dari semua itu, tetap yang dianjurkan dan yang utama bahwa seorang muadzzin itu adalah seorang yang merdeka, baligh, dan terpercaya.

Dalam hadis disebutkan bahwa Ibnu Abbas Ra mengatakan: bersabda Rasulullah Saw:

يؤذن لكم خياركم

“Hendaknya yang mengumandangkan azan, adalah orang yang terbaik diantara kalian”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Umar bin Al Khattab Ra pernah bertanya kepada Qais bin Abi Hazim seorang tabi’in: siapa muadzzin kalian? Beliau jawab: para budak kami. Umar berkata: sungguh itu sebuah kekurangan yang sangat. (HR. Al Baihaqi).

Menunjukkan tidak sepatutnya yang menjadi muadzzin orang biasa yang tidak terpandang. Selayaknya muadzzin adalah orang baik, shaleh, terpercaya, merdeka dan memiliki sifat-sifat kemuliaan lainnya. Sebab mereka bertugas memberitahukan berita penting tentang tibanya waktu shalat.

Karena itu imam As Syafi’i mengatakan:

وأحب أن يكون المؤذنون خيار الناس

“Aku suka para muadzzin itu adalah sebaik-baik orang”. (Al Majmu’ syarh Al Muhadzzab, jilid 3, hal. 110).

 

Apakah anak yang belum dikhitan boleh mengumandangkan azan?

Sebahagian mempermasalahkan azan anak kecil sebab mereka belum dikhitan. Pertanyaannya apa masalahnya dengan belum khitan?
Jika masalahnya karena mereka masih anak-anak, maka jawabannya telah kita sebutkan di atas.
Adapun jika permasalahannya mereka belum suci, ada bagian di tubuh mereka yang bernajis maka timbul pertanyaan: apakah seorang Muadzzin mesti bersuci sebelumnya?

Imam An Nawawi mengatakan:

يستحب أن يؤذن على طهارة، فإن أذن وهو محدث أو جنب أو أقام الصلاة وهو محدث أو جنب صح أذانه وإقامته لكنه مكروه

“Dianjurkan seorang muadzzin dalam kondisi suci. Sekiranya ia mengumandangkan azan dalam kondisi berhadas atau junub (hadas besar), atau mengumandangkan iqamah dalam kondisi hadas kwcil atau junub (hadas besar), sah azan dan iqamahnya, namun makruh”.
(Al Majmu’ syarh Al Muhadzzab jilid 3, hal. 113).

Maka dari nas tersebut dapat difahami bahwa azan anak kecil mumayyiz yang belum baligh dan belum dikhitan tetap sah. Toh orang yang junub saja sah azan dan iqamah mereka padahal itu hadas besar, terlebih lagi anak kecil yang paling dapat dikatakan mereka hanya berhadas kecil.

Dan terkait yang ditanyakan terjawablah sudah. Bahwa sebuah kampung yang kaum laki-lakinya yang sudah baligh rata-rata mereka sibuk di perkantoran, tidak berada di mushalla atau di mesjid. Lalu ada anak-anak TPA yang diasuh oleh gurunya dengan baik dalam mengumandangkan, tidak ada salahnya jika mereka juga dilatih untuk praktek langsung dengan menjaga adab-adab azan, adab-adab mesjid dan tetap menjaga ketertiban afdhaliyah jika memang pengurus mesjid datang, kecuali diizinkan oleh mereka.

Adapun terkait azan orang gila maka tidak sah. Bagaimana orang gila dapat mengumandangkan azan sedangkan ia berbicara saja tidak teratur dan sulit difahami. Jika dalam urusan berita saja kita tidak dapat mempercayai mereka, maka bagaimana kita dapat menerima berita terkait agama kita tentang ketibaan waktu shalat.

Wallahu A’lam bis Shawab.

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.