Masa-il Ushuliyah

9 Sebab Munculnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama & Bagaimana Menyikapinya

perbedaan pendapat di kalangan ulama

perbedaan pendapat di kalangan ulama

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama ibarat Taman yang dipenuhi beraneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk, akan sangat indah tidak bosan mata memandang, lain halnya kalau taman itu hanya dihiasi dengan satu macam bunga saja, ia terlihat kaku dan tidak indah untuk terus dipandang mata.

Allah SWT Yang Maha Hebat telah menciptakan manusia dengan berbagai warna kulit, bentuk tubuh, dan tabi’at. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan, juga menunjukkan kuasa Allah yang maha dahsyat.

Berdasarkan fitrah asal kejadian inilah, perbedaan pendapat diantara manusia merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri. Firman Allah SWT:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka”. (QS. Hud: 118-119)

Pengertian Ikhtilaf

Islam menghendaki ikhtilaf namun tidak menghendaki khilaf. Karena ikhtilaf terpuji, lain halnya dengan khilaf. Khilaf artinya: berlawanan atau bertentangan. Ia menghendaki perselisihan yang membawa kepada pertikaian dan permusuhan. Sedangkan ikhtilaf artinya: tidak sepakat, tidak sama, atau keragaman. Ikhtilaf membawa rahmat, sedangkan Khilaf adalah bid’ah yang harus dihindari. Dengan demikian, Khilaf harus dihindari, sedangkan ikhtilaf kelaziman yang tidak mungkin dihindari.

[Muhammad Awwamah, Adab Al Ikhtilaf (Beirut: Darul Basya-ir Al Islamiyah, 1418 H), hal 20].

Pentingnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama: Ikhtilaf adalah Kehendak Allah Swt dan Rasul Saw

Keragaman dalam berpendapat merupakan kehendak Allah Saw dan Rasululullah Saw. Mungkin pernyataan ini sedikit membingungkan. Tapi ini adalah kenyataan. Ketika Allah berfirman: “Dan wanita-wanita yang diceraikan hendaknya berdiam diri selama 3 masa Quru'” (Al Baqarah: 228). Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari berpendapat Quru’ adalah masa haidh, sedangkan Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit berpendapat Quru’ adalah masa suci. [Muhammad bin Jarir Ath Thabary, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Quran (Beirut: Muassasah Al Risalah, 1420H), Juz. 4 Hal. 501-513].

Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru’ telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor. Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru’. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.

Demikian pula, ketika Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabat: Janganlah kalian shalat Ashar melainkan di Bani Quraizhah. Para sahabat dengan segera berusaha untuk menjangkau Bani Quraizhah sebelum Ashar, namun ketika tiba waktu Ashar mereka masih dalam perjalanan. Sebahagian mereka mengatakan: kita tidak boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah, karena ini adalah perintah Rasulullah Saw. Namun, sebahagian lagi mengatakan: tidak, kita harus shalat Ashar di manapun kita berada apa bila tiba waktunya, Rasulullah Saw berkata demikian karena menghendaki agar kita segera sampai ke Bani Quraizhah. Maka sebahagian dari mereka ada yang shalat Ashar dan sebahagian yang lain tidak. Ketika sampai di Bani Quraizhah mereka mengadukan perkara ini kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw tersenyum dan membenarkan kedua belah pihak. [Muhammad Sa’id Ramadhan Al Bouti, Fiqh as Sirah (Cairo: Dar as Salam, 1419H), hal. 226].

Pentingnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama: Toleransi Para Ulama dalam masalah-masalah ikhtilaf

Para Ulama dari sejak masa Salaf, baik di kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in telah banyak berikhtilaf. Bahkan ikhtilaf ini telah terjadi dari sejak Rasulullah Saw masih hidup. Tapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang saling menuding salah, fasiq atau kafir kepada orang yang bertentangan dengan pendapatnya.

Dalam beberapa masalah mawarits terjadi ikhtilaf sahabat antara Zaid bin Tsabit dan Ibnu mas’ud atau yang lainnya. Sebagaimana di kalangan sahabat ada yang membaca Basmalah di awal al Fatihah dan ada pula yang tidak membacanya, ada yang membaca dengan sir ada pula yang membaca dengan jahar.

Imam Asy Syafi’I pernah jadi imam Shubuh di Iraq dekat maqam Abu Hanifah, dan beliau tidak berqunut sebagai penghormatan kepada Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya.

Imam Ahmad bin Hanbal termasuk yang berpendapat wajib berwudhu’ karena bekam dan darah yang keluar dari hidung (mimisan). Lalu beliau ditanya: Apa pendapat engkau jika imam shalat keluar darah dan dia tidak kembali berwudhu, apakah engkau akan shalat di belakangnya? Beliau menjawab: bagaimana saya tidak shalat di belakang imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?

Adalah sikap monumental Imam Malik bin Anas patut dijadikan contoh. Selesai beliau menulis kitab Muwaththa’ atas perintah Khalifah dinasti Abbasiah Abu Jakfar Al Manshur, adalah khalifah berkeinginan agar Muwaththa’ menjadi satu-satunya Qanun Negara Islam di waktu itu, dan semua pendapat yang bertentangan ditiadakan. Imam Malik menulis surat yang isinya menolak hal tersebut:

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya sebelumku para sahabat telah berikhtilaf, dan murid-murid mereka telah meriwayatkan hadits-hadits, dan setiap kaum telah mengambil pendapat-pendapat yang terdahulu sampai ke telinga mereka, biarkanlah setiap negeri mengambil pendapat yang sesuai dengan mereka”

Jadi kesimpulannya, ikhtilaf telah terjadi dari sejak 3 abad sebaik-baik masa umat ini (Khairu Qurunil Ummah).

Pentingnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama: Ikhtilaf adalah Kekayaan Syari’at Islam

Banyak pendapat dalam syari’at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu Fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa’idah-qa’idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas).

Perbedaan metode pengambilan dalil dan istinbatnya menghasilkan mutiara-mutiara yang sangat berharga, dari madrasah logika, ke madrasah hadits, madrasah ahlul Zhawahir ke madrasah yang sangat moderat. Kalau setiap madrasah ini bisa diambil hal-hal positifnya tentu fiqh akan mencapai masa kematangannya. Inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita di masa ini dalam berbagai muktamar internasional.

Pentingnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama: Keragaman dalam Furu’ -tidak dalam Ushul- adalah Rahmat

Umar bin Abdul Aziz mengatakan: bagiku tidaklah indah jika para sahabat sepakat dalam satu pendapat, karena kalau demikian tidak ada rukhsah (keringanan) dalam agama ini.

Ikhtilaf dalam masalah furu’ adalah rahmat, karena dalam berbagai kondisi yang sulit kita bisa mengambil pendapat yang menyelamatkan kita dari kemudharatan.

Imam As Suyuti dalam pendahuluan risalah beliau yang berjudul ”Jazil al Mawahib Fi Ikhtilaf al Madzahib” berkata: ketahuilah bahwa perbedaan mazhab dalam agama ini (Islam) merupakan nikmat dan karunia yang sangat besar. Ikhtilaf ini merupakan rahasia dan hikmah yang sangat tersembunyi yang diketahui oleh para ulama, namun tidak kelihatan bagi orang-orang bodoh. Sehingga aku pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan: Nabi SAW datang dengan membawa satu syari’at, darimana pula datang mazhab-mazhab yang empat? [Muhammad Awwamah, Adab, hal 25].

Namun keragaman dalam ushul tidaklah terpuji. Terutama dalam masalah ushul yang asasiyah, seperti: ikhtilaf dalam masalah ke-Esaan Allah, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir, Ka’bah adalah kiblat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu adalah wajib.

9 Sebab Munculnya ikhtilaf/Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Faktor penyebab timbulnya ikhtilaf di kalangan ulama sangatlah banyak, diantaranya: masalah metodologi berfikir yang berbeda, masalah bahasa, apakah kata-kata ini hakikat atau majaz, difahami secara manthuq atau mafhum. Masalah hadits yang shahih menurut sebahagian kelompok, namun tidak shahih menurut yang lain, atau ada sebahagian kaum yang sampai kepada mereka sebuah hadits, sedangkan kaum lain tidak sampai. Ada pula dalil yang dijadikan hujjah oleh sebuah kaum, namun menurut kaum yang lain tidak.

Dengan demikian, diantara sebab-sebab terjadinya ikhtilaf adalah sebagai berikut:

1. Tabi’at manusia yang berbeda dalam kecenderungan, cara pandang, kemampuan berfikir dan latar belakang lingkungan hidupnya

2. Tabi’at bahasa Arab yang merupakan bahasa asli Al Quran dan As Sunnah terdiri dari: hakikat-majaz, musytarak, siyaqul kalam dan lain-lain

3. Tabi’at Nushush Taklifiyah ada yang muhkam-mutasyabih, qath’i-zhanni, mujmal-mufassar, muthlaq-muqayyad, sharih-muawwal dan lain-lain. [Abdul Wahhab Abdus Salam Thawilah, Atsaru al Lughah Fi Ikhtilaf al Mujtahidin (Cairo: Dar as Salam, 1420H), hal 66-67].

4. Perbedaan Qiraat, seperti perbedaan pendapat ulama tentang kaki dalam masalah wudhu’, apakah yang wajib sekedar mengusapnya atau harus dengan membasuhnya. Pendapat pertama dianut oleh Imam Ahmad, Al Auza’I, Ats Tsauri, Ibnu Jarir At Thabari dan Syi’ah Imamiyah, sedangkan pendapat kedua dianut oleh jumhur ulama. Kedua-dua mazhab tersebut berdasarkan kata: وأرجلكم yang terdapat pada Al Quran surah Al Maidah ayat: 6. Namun pendapat pertama membacanya dengan “Wa Arjulikum” (berbaris kasrah) berdasarkan Qiraat Nafi’, Ibnu Amir dan Al Kisa-i, sedangkan pendapat kedua membacanya dengan “Wa Arjulakum”, sesuai dengan Qiraat Ibnu Katsir, Abu Amru dan Hamzah.

5. Sampai atau tidaknya hadits. Seperti masalah penentuan waktu dalam mengusap Al Khuffaini (dua sepatu). Umar bin Al Khattab RA berpendapat bahwa orang yang mengusap Al Khuffaini tidak ada batasan waktu sehingga ia melepaskannya. Hal ini karena beliau tidak mendengarkan hadits yang pernah didengar oleh Ali bin Abi Thalib dan Auf bin Malik Al Asyja’I RA yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Syuraih bin Hani’: aku mendatangi Aisyah untuk bertanya masalah Al Mashu ‘Ala Al Khuffaini. Aisyah berkata: Tanyakanlah Ali bin Abi Thalib, karena ia sering bermusafir bersama Rasulullah SAW. Lalu aku bertanya kepada Ali dan ia berkata:

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ (رواه مسلم في كتاب الطهارة/ باب التوقيت في المسح على الخفين)

“Rasulullah SAW menentukan bagi musafir tiga hari dan malamnya, dan satu hari dan malamnya bagi yang mukim”.

6. Perbedaan kuat atau tidaknya hadits yang diterima. Seperti pada masalah wajib mengqadha’ puasa bagi yang tidak sengaja makan atau minum di siang Ramadhan. Menurut jumhur ulama tidak ada kewajiban mengqadha’ puasa berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه البخاري ومسلم في كتاب الصيام/ باب أكل الناسي وشربه وجماعه لا يفطر)

“Barang siapa lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia sempurnakan puasanya, karena Allah telah memberi makan dan minum untuknya”.
Dan hadits:

إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِياً أَوْ شَرِبَ نَاسِياً فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ (رواه الدارقطني في كتاب الصيام/ باب تبييت النية من الليل وغيره)

“Jika orang yang berpuasa makan atau minum terlupa, ia adalah rezki yang diberikan Allah dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha’nya”.

Namun Imam Malik berpendapat wajib mengqadha puasa bagi yang makan atau minum di siang Ramadhan walau terlupa. Karena menurut imam Malik hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni tidak shahih, adapun hadits pertama yang shahih tidak disebutkan keguguran Qadha’.

7. Perbedaan dalil yang dianggap hujjah. Seperti permasalahan tayammum apakah mengambil debu dengan ضربة (pukulan ke tanah) atau ضربتين (dua kali pukulan ke tanah)?. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tayammum cukup dengan sekali pukulan untuk wajah dan kedua tangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir:

فِي التَّيَمُّمِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ (رواه أحمد والترمذي)

“Pada Tayammum sekali pukulan (ke tanah) untuk wajah dan kedua telapak tangan”.

Namun mazhab Al Hanafiyah, Al Malikiyah dan Asy Syafi’iyyah berpendapat: tayammum dilakukan dengan dua kali pukulan ke tanah. Pukulan pertama untuk mengusap wajah dan pukulan kedua untuk mengusap kedua tangan, dengan dalil hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Umamah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ (رواه الحاكم في المستدرك في كتاب الطهارة)

“Tayammum itu dengan dua pukulan: pukulan untuk mengusap wajah dan pukulan untuk mengusap kedua tangan hingga ke siku”.

8. Tidak ada nash (dalil Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah. Seperti permasalahan pembunuhan yang dilakukan oleh orang banyak terhadap satu orang. Hal ini pertama sekali terjadi pada masa Umar bin Khattab RA ketika seorang wanita di Shan’a ditinggal pergi oleh suaminya, dan meninggalkan bersama sang isteri seorang anak tiri yang bernama Ashil. Namun sang isteri serong dengan laki-laki yang lain. Lalu mereka sepakat membunuh sang anak dengan mutilasi. Dengan hikmah Allah kejadian ini terbongkar dan dilaporkan kepada Umar bin Khattab. Beliau mengambil keputusan untuk membunuh semua yang punya andil dalam pembunuhan tersebut. Dan pendapat beliau ini disepakati oleh Ali bin Abi Thalib, Al Mughirah bin Syu’bah, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, juga menjadi pendapat mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Al Auza’I dan juga mazhab Ahlu Ar Ra’yi.

Namun yang tidak sepakat dengan mazhab ini adalah: Abdullah bin Zubair, Az Zuhri, Ibnu Sirin, Daud Azh Zhahiri, dan Hanabilah. Mereka lebih memilih untuk mengambil diyat.

9. Perbedaan dalam Qawa’id Al Ushuliyah. Seperti pada qa’idah:

– الأمر المطلق هل يقتضي الفور أم التراخي؟

“Perintah yang mutlak (tidak ada keterangan) apakah menghendaki segera atau boleh bertangguh?”.

– اقتضاء الأمر المطلق الوحدة أو التكرار؟

“Kehendak suatu perintah apakah untuk hanya sekali atau berulang kali?”.

Wabillahit Taufiq

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.