Fikih Nikah

Apakah Sah Menikah Tanpa Ada Wali

Menikah Tanpa Wali

Menikah Tanpa Wali

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((لاَ نِكَاَحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ)) .
– رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Ra. Dari Rasulullah Saw. beliau bersabda: “Tidak sah nikah tanpa ada seorang wali”. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Derajat Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ashabus Sunan diantara mereka adalah Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Derajat hadits ini shahih menurut Syeikh Al Bani.

Perawi Hadits:
Rawiyul A’la pada hadits ini adalah Abu Musa Al Asy’ari. Nama beliau adalah Abdullah bin Qais, namun beliau lebih dikenal dengan nama kunyah Abu Musa. Di sebut dengan Al Asy’ari karena salah seorang kakek beliau bernama Al Asy’ar. Berasal dari Yaman dan tiba ke Mekkah sebelum hijrah Rasul Saw. memeluk Islam kemudian ikut berhijrah ke Habsyah dan tiba di Madinah setelah perang Khaibar. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi Saw yang masyhur yang memiliki suara merdu, dan salah seorang juru runding pada perang shiffin dari pihak Ali bin Abi Thalib Ra. Wafat pada tahun 50 H.

Mufradat Hadits:
نكاح : Pernikahan
ولي : Seorang Wali

Hukum Yang terdapat Dalam Hadits:

a. Apakah akad nikah harus dengan wali?

Akad nikah adalah akad suci yang tidak hanya menghimpunkan pasangan seorang laki-laki dan perempuan namun juga keluarganya. Akad ini memiliki beberapa ketentuan yang harus dipelihara karena menjadi salah satu rukun untuk menjamin kesahannya akad tersebut seperti harus ada wali dan saksi. Namun tidak semua ulama sepakat untuk mewajibkan adanya wali dalam pernikahan, sehingga dalam masalah ini muncul 2 pendapat ulama:

Pertama: Pendapat Jumhur Ulama Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mengharuskan adanya wali .

Dalil mereka adalah hadits Abu Musa Al Asy’ari لاَ نِكَاَحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ yang berarti tidak ada nikah yaitu tidak tergambarkan wujud nikah tanpa ada wali. Berarti nikah tanpa ada wali akan menjadi nikah yang batil atau tidak sah.

Kedua: Pendapat Hanafiyah yang tidak mengharuskan adanya wali.
Mereka menggunakan dalil hadits dari Ibnu Abbas Ra:

((الثيبُ أَحقُّ بنفسها مِنْ وَلِيِّهَا))
“Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya”. (HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi dan An Nasa-i).

Dilalah hadits tersebut: wanita janda lebih berhak untuk menentukan nasib dirinya dari pada walinya sehingga ia lebih berhak untuk mengawinkan dirinya sendiri daripada walinya.
Adapun dalil mereka terhadap gadis yang juga boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa harus ada izin wali adalah firman Allah Swt.

فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al Baqarah: 232).
Pada ayat ini Allah Swt telah menyandarkan nikah kepada para wanita, dan Allah Swt melarang para wali untuk menghalangi pernikahan mereka.

Pendapat yang rajih:
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur Ulama, hal ini karena beberapa alasan:
1. Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan hadits-hadits shahih yang lain seperti:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ))
“Wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya adalah bathil, nikahnya bathil, nikahnya bathil”. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).

2. Adapun dalil hadits Ibnu Abbas Ra dapat dijawab: bahwa yang dimaksud dengan lebih berhak adalah dalam urusan izinnya. Jika wanita janda mengizinkan kepada wali untuk menikahkan dirinya maka jadilah pernikahan tersebut, namun jika ia tidak mengizinkannya tidak boleh bagi wali menikahkan dirinya kepada laki-laki yang ia tidak suka.

3. Adapun ayat yang mereka jadikan hujjah tidaklah tepat, karena maksud dari kata فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ adalah enggan untuk menikahkan sang wanita. Allah Swt melarang para wali untuk enggan menikahkan wanita di bawah perwaliannya kepada laki-laki yang layak untuk menjadi suaminya. Hal ini sesuai dengan asbabun nuzul ayat tersebut bahwa ketika Ma’qal bin Yasar enggan menikahkan saudari kandungnya turunlah ayat ini lalu ia dipanggil oleh Rasulullah Saw sehingga Ma’qal bin Yasar menikahkan saudari kandungnya.

Wallahu A’lam

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.