-Fikih Fikih Ibadah Konsultasi Syariah Bersama Ustadz

Inilah Pendapat Imam Syafi`i Ra Terkait Hukum I`adah Zhuhur Setelah Shalat Jumat

Inilah Pendapat Imam Syafi`i Ra Terkait Hukum Shalat I`adah Zhuhur

Inilah Pendapat Imam Syafi`i Ra Terkait Hukum Shalat I`adah Zhuhur

Hukum I’adah (Mengulang) Shalat Zhuhur Setelah Jumat

Termasuk salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah masalah pelaksanaan shalat Zhuhur setelah salat Jumat. Sebahagian orang awam menganggap ini adalah perkara bid’ah karena tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw dan juga para salafunas saleh. Di lain pihak sebahagian masyarakat dan juga pelajar dari pondok pesantren mewajibkan shalat Zhuhur setelah salat Jumat. Mereka beranggapan bahwa shalat Jumat yang dilakukan bermasalah karena dilaksanakan pada beberapa masjid di wilayah yang masih sangat berdekatan.

Uniknya pula, masyarakat ada yang mengatakan: jika pelaksanaan Jumat bermasalah mengapa tidak dialihkan kepada pelaksanaan shalat Zhuhur langsung, sehingga tidak terjadi 2 shalat fardhu dalam satu waktu?

Permasalahan I’adah Zhuhur setelah Jumat bukanlah permasalahan pengikut mazhab Syafi’iyah saja, namun ia merupakan permasalahan yang terdapat nashnya secara langsung dari pendiri mazhab yaitu Imam As Syafi’I Ra.

Dalam kitab Al Umm, Al Imam Asy Syafi’I Ra mengatakan:

وَلَا يُجْمَعُ فِي مِصْرٍ وَإِنْ عَظُمَ أَهْلُهُ وَكَثُرَ عَامِلُهُ وَمَسَاجِدُهُ إلَّا فِي مَوْضِعِ الْمَسْجِدِ الْأَعْظَمِ وَإِنْ كَانَتْ لَهُ مَسَاجِدُ عِظَامٌ لَمْ يُجْمَعْ فِيهَا إلَّا فِي وَاحِدٍ وَأَيُّهَا جُمِعَ فِيهِ أَوَّلًا بَعْدَ الزَّوَالِ فَهِيَ الْجُمُعَةُ، وَإِنْ جُمِعَ فِي آخَرَ سِوَاهُ يَعُدُّهُ لَمْ يَعْتَدَّ الَّذِينَ جَمَعُوا بَعْدَهُ بِالْجُمُعَةِ، وَكَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُعِيدُوا ظُهْرًا أَرْبَعًا

Artinya: “Tidak dilaksanakan Jumat dalam satu negeri walaupun besar jumlah penduduknya dan banyak mesjidnya melainkan di satu masjid yang paling besar. Jika di dalamnya terdapat banyak masjid yang besar maka tidak dilaksanakan Jumat melainkan hanya di salah satunya saja. Dan pelaksanaan Jumat yang pertama sekali setelah Zawal itulah yang dianggap Jumat. Jika terdapat masjid yang lain melaksanakan Jumat setelah pelaksanaan Jumat di tempat lain, maka yang terlambat tidak dihitung Jumat. Dan mereka (yang terlambat) harus melakukan I’adah Zhuhur empat rakaat”. (Al Umm juz 1 hal. 221).

Adapun terhadap tuduhan yang mengatakan mazhab Syafi’iyah membuat bid’ah munkarah karena menambahkan kewajiban salat pada hari Jumat menjadi 6 salat, hal ini dibantah oleh As Syeikh Ar Ramli ketika beliau ditanyakan:

أَنْتُمْ يَا شَافِعِيَّةُ خَالَفْتُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَأَنْتُمْ تُصَلُّونَ سِتًّا بِإِعَادَتِكُمْ الْجُمُعَةَ ظُهْرًا، فَمَاذَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ؟

فَأَجَابَ: بِأَنَّ هَذَا الرَّجُلَ كَاذِبٌ فَاجِرٌ جَاهِلٌ، فَإِنِ اعْتَقَدَ فِي الشَّافِعِيَّةِ أَنَّهُمْ يُوجِبُونَ سِتَّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ كَفَرَ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ، وَإِلَّا اسْتَحَقَّ التَّعْزِيرَ اللَّائِقَ بِحَالِهِ الرَّادِعَ لَهُ وَلِأَمْثَالِهِ عَنْ ارْتِكَابِ مِثْلِ قَبِيحِ أَفْعَالِهِ، وَنَحْنُ لَا نَقُولُ بِوُجُوبِ سِتِّ صَلَوَاتٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ، وَإِنَّمَا تَجِبُ إعَادَةُ الظُّهْرِ إذَا لَمْ نَعْلَمْ تَقَدُّمَ جُمُعَةٍ صَحِيحَةٍ؛ إذْ الشَّرْطُ عِنْدَنَا أَنْ لَا تَتَعَدَّدَ فِي الْبَلَدِ إلَّا بِحَسَبِ الْحَاجَةِ، وَمَعْلُومٌ لِكُلِّ أَحَدٍ أَنَّ هُنَاكَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَحِينَئِذٍ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ وُقُوعَ جُمُعَتِهِ مِنْ الْعَدَدِ الْمُعْتَبَرِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الظُّهْرُ وَكَانَ كَأَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ جُمُعَةً، وَمَا انْتَقَدَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ إلَّا مَقَتَهُ اللَّهُ تَعَالَى – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ –

Artinya: “Kalian wahai Syafi’iyah melanggar ketentuan Allah dan RasulNya, Allah Swt mewajibkan 5 shalat, sedangkan kalian mewajibkan 6 salat karena kalian melakukan salat Zhuhur setelah shalat Jumat.

As Syeikh menjawab: Orang tersebut pendusta, pelaku kejahatan dan bodoh. Sekiranya ia meyakini bahwa Syafi’iyah mewajibkan 6 shalat sebagai dasar hukum dari syara’ maka orang tersebut telah menjadi kafir dan diperlakukan padanya hukuman orang yang murtad, jika tidak maka ia layak untuk diberikan ta’zir (hukuman dari pemerintah) yang layak untuk mencegah dan mengekangnya juga orang-orang yang berfikiran sepertinya untuk kembali melakukan seperti perkataan dan perbuatannya tersebut.

Kami (Syafi’iyah) tidak mewajibkan 6 shalat sebagai dasar hukum dari syara’. Wajib mengulang shalat zhuhur adalah karena tidak diketahui pelaksanaan shalat Jumat mana yang terlebih dahulu dilakukan dengan benar. Karena syarat sah Jumat menurut kami hendaknya dalam satu negeri tidak dilaksanakan Jumat lebih dari satu kecuali sesuai dengan “Hajat” (keperluan). Setiap orang tahu bahwa pelaksanaan Jumat yang banyak (sekarang ini) di luar batas keperluan. (Hal ini serupa dengan permasalahan) orang yang tidak tahu bahwa Jumatnya dilaksanakan oleh bilangan jamaah yang muktabar (yaitu 40 orang) atau tidak, maka wajib melaksanakan I’adah shalat Zhuhur, karena seolah mereka belum melaksanakan shalat Jumat. Dan tidak seorangpun yang mengkritik salah seorang imam Mazhab melainkan akan dimurkai Allah Swt, semoga ridha Allah kepada mereka semuanya”. (Nihayatul Muhtaj Ma’a Hasyiyah As Syarwani jilid 2 hal 324, dan Fathul Allam, jilid 3, hal. 39 – 40).

Dari perkataan Syeikh Ar Ramli tersebut dapat difahami beberapa hal:

1. Pelaksanaan salat Zhuhur setelah Jumat bukanlah melakukan suatu ibadah batil yang haram atau makruh hukumnya. Bukan pula suatu bentuk ta’assub bagi pendapat tertentu. Tapi ia adalah salah satu bentuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam pelaksanaan ibadah. Rasulullah Saw memerintahkan untuk Ihtiyath dalam urusan agama dalam beberapa sabdanya, diantaranya:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ

“Barang siapa menghindari diri dari syubuhat (yang tidak jelas hukumnya) sungguh ia telah menjadi agama dan kehormatannya”. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1599, Abu Daud no. 3330 dari An Nu’man bin Basyir Ra.).

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkanlah yang kamu ragu kepada yang tidak kamu ragu”. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 2518, An Nasai no. 5711 dan Ibnu Majah no. 3984dari Al Hasan bin Ali Ra.).

2. Jumhur Syafi’iyah menjadikan pelaksanaan Jumat pada satu tempat di dalam satu wilayah yang masih berdekatan sebagai syarat sah pelaksanaan Jumat. Hal ini karena Istiqra’ (penelitian) membuktikan bahwa Rasulullah Saw dan para sahabat tidak pernah melaksanakan Jumat lebih dari satu tempat. Dan Rasulullah Saw tidak memerintahkan para sahabat yang tinggal di pedalaman atau di daerah lain untuk melaksanakan Jumat di setiap daerah masing-masing.

3. I’adah Zhuhur pada hari Jumat adalah permasalahan yang dianggap berkaitan dengan berbilangnya pelaksanaan Jumat di wilayah yang berdekatan tanpa ada hajat yang patut dipertimbangkan.

4. Adapun jika pelaksanaan Jumat itu memang perlu dilakukan di beberapa masjid karena ada hajat yang menghendakinya, maka berdasarkan pendapat yang paling lapang dalam masalah ini, harus diperhatikan ukuran dan kadar hajat tersebut.

Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili salah seorang ulama kontemporer bermazhab As Syafi’I juga sependapat bahwa negeri sekarang sudah sangat padat, dan manusia butuh pelaksanaan Jumat di mesjid yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Karena larangan pelaksanaan Jumat lebih dari satu dalam suatu negeri tidak ada dalil yang kuat, dan sekiranya hal tersebut tidak boleh niscaya Rasulullah SAW melarang kita untuk melaksanakan Jumat yang lebih dari satu pada satu negri.

Adapun Jum’at yang lebih utama dalam satu negri di satu mesjid, hal ini tentang kesempurnaan pahalanya, bukan tentang kebolehan atau ketidakbolehannya. (Al Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, jilid 2, hal. 1302).

Dan pendapat boleh berbilang pelaksanaan Jumat di beberapa tempat jika diperlukan juga difatwakan oleh Imam As Subki dalam Fatawanya, juz 1 hal. 352 dan pendapat ini dinukilkan juga dari Ar Ruyani pengarang Bahrul Madzhab, dan Ar Rafi’i. Beliau juga meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’I pernah masuk ke kota Basrah dan shalat Jumat dilaksanakan di beberapa tempat, dan beliau tidak memungkirinya. (Riwayat ini juga terdapat dalam kitab Hasyiyah As-Syarwani (dicetak bersama kitab Tuhfah) jilid 2 hal. 463. Juga disebutkan di dalamnya: “Jumhur Syafi’iyah berpendapat bahwa Imam As-Syafi’I tidak memungkirinya karena susahnya untuk berkumpul (dalam satu tempat)”.

Hal ini walaupun bukan yang paling kuat tapi menunjukkan bahwa dalam mazhab Asy Syafi’I ada ulama yang diakui keilmuannya membolehkan pelaksanaan Jumat lebih dari satu pada satu negri.

Maka oleh karena itu, bagi mereka yang ingin I’adah Zhuhur setelah Jumat silahkan, tidak perlu dilarang, dan mereka juga tidak berhak mewajibkan kepada orang lain atau bahkan sampai membuat Qanun resmi mewajibkan seluruh Jemaah untuk melakukan I’adah Zhuhur.

Begitu pula yang tidak I’adah Zhuhur tidak perlu menganggap bid’ah terhadap mereka yang melakukan I’adah Zhuhur dan tidak boleh memaksakan jamaah lainnya untuk membubarkan jamaah yang melakukan I’adah Zhuhur. Mudah-mudahan Allah Swt menjadikan umat ini umat yang bersatu hatinya dan memperbaiki hati dan fikiran orang awam dan berilmu.

Wallahu A’la Wa A’lam Bis Shawab

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.