-Fikih Fiqih Puasa Konsultasi Syariah Bersama Ustadz

Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa Sunnah Syawal dengan Niat Puasa Qadha

Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa Sunnah Syawal dengan Niat Puasa Qadha

Bolehkah Menggabungkan Niat Puasa Sunnah Syawal dengan Niat Puasa Qadha

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Ustadz… Saya memiliki utang puasa Ramadhan yang belum saya tunaikan. Bolehkah ketika puasa enam hari di bulan Syawal saya melakukannya bersamaan dengan niat puasa qadha’?

Terimakasih.

Wassalam

Ibu Fulanah

Jawaban:

Wa’alaikum Salam Wr Wb

Ibu Fulanah yang berbahagia… Puasa enam di bulan Syawal merupakan puasa Sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Aiyub Al Anshari Ra. Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan lalu ia iringin dengan puasa enam hari di bulen Syawwal maka seolah ia menjadi puasa sepanjang masa”.

Yang dimaksudkan dengan sepanjang masa adalah sepanjang tahun tersebut, atau sepanjang masa jika ia senantiasa melakukannya.

Demikian pula anjuran puasa enam terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam An Nasa-I dan imam Ad Darimi dari Tsauban Ra ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَهُنَّ بِشَهْرَيْنِ ، فَذَلِكَ تَمَامُ سَنَةٍ

“Puasa sebulan Ramadhan sebanding dengan puasa sepuluh bulan. Dan puasa enam hari setelahnya (yaitu di bulan Syawwal) sebanding dengan puasa dua bulan. Dengan demikian sempurnalah satu tahun (yaitu dua belas bulan)”.

Kesunnahan puasa enam hari di bulan Syawwal adalah pendapat mazhab As Syafi’I dan Al Hanbali. Namun Abu Hanifah memakruhkan puasa ini agar orang tidak mengira bahwa ia bagian dari puasa Fardhu Ramadhan. Adapun Malikiyah memakruhkan puasa ini bagi mereka yang menjadi panutan dan ikutan jika puasa ini dilakukan segera setelah puasa Ramadhan secara beriringan dan diyakini hanya demikian kesunnahannya. Jika perkara-perkara ini tidak ada maka tidak dimakruhkan bahkan disunnahkan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28 / 93).

Bolehkah Berpuasa Enam Dengan Terpisah-pisah?

Pada dasarnya yang terbaik pada puasa enam adalah beriringan dan bersambung. Yaitu setelah Idul Fitri segera berpuasa enam dan melakukannya selama enam hari berturut-turut. Namun pahala Sunnah tetap didapatkan walau tidak segera di hari 2 Syawwal dan tidak dilakukan beriringan enam hari berturut-turut.

Al Khatib As Syarbaini mengatakan:

وتحصل السنة بصومها متفرقة ولكن تتابعها أفضل عقب العيد مبادرة إلى العبادة ولما في التأخير من الآفات

“Pahala Sunnah tetap didapatkan dengan berpuasa enam secara terpisah-pisah. Namun melakukannya secara berkesinambungan lebih baik selepas hari raya (idul fitri), sebagai bentuk menyegerakan ibadah. Dan dalam menangguh-nangguhkan akan mendatangkan banyak halangan”. (Mughni Al Muhtaj, 1/447).

Qadha’ Ramadhan Bersamaan dengan Puasa Enam di bulan Syawwal:

Menanggapi masalah ini, imam Jamaluddin Al Ahdal dalam kitab ‘Umdatul Mufti wa Al Mustafti, 1 / 272-273 mengatakan:

Para ulama dalam mazhab As Syafi’I berbeda pendapat dalam masalah ini.

Imam Jamaluddin Ar Ramli mengatakan bahwa pahala puasa enam didapatkan dengan niat Qadha Ramadhan walau tanpa niat puasa enam. Namun pahalanya tentu tidak sesempurna jika dilakukan secara terpisah, terlebih lagi seseorang yang tidak berpuasa sepanjang Ramadhan lalu ia qadha’ sepanjang bulan Syawwal, sebab makna hadis tidak terdapat pada puasanya yaitu puasa Ramadhan dan tambah 6 hari. Karena itu yang terbaik bagi yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan penuh, agar ia mengqadha sebulan penuh di bulan Syawwal lalu ia tambahkan enam hari di bulan Zulkaidah. Walau di bulan Zulkaidah hendaknya tetap diqadha’, sebab puasa rawatib dianjurkan untuk diqadha’ walaupun telah berlalu waktunya di bulan Syawwal. Persis halnya seperti shalat rawatib yang tetap dianjurkan untuk diqadha’ walau telah berlalu waktunya.

Adapun Ibnu Hajar dalam kitab-kitabnya mengatakan: bahwa puasa enam dengan qadha Ramadhan seperti shalat sunat Tahiyyatul Mesjid dan Shalat Fardhu. Jika diniatkan maka didapatkan pahalanya, jika tidak diniatkan maka tidaka da pahalanya, namun gugur perintah melaksanakan ibadah sunnat yang tidak diniatkan jika shalat fardhu telah dilaksanakan, meskipun tidak ada pahalanya sebab tidak diniatkan.

Imam Ahmad bin Umar As Syathiri dalam hasyiyah beliau terhadap Bughiyyatul Mustarsyidin, 1 / 833 mengatakan:

الحاصل أنه عند ابن حجر إن نوى الكل حصل ما نواه، وإن نوى البعض حصل ما نواه وسقط طلب التطوع الذي لم ينوه لكن بلا حصول ثواب له: وعند الرملي ومن تبعه يحصل ثواب سائر التطوعات وإن لم ينوها إلا أن يصرف النية عن شيء فلا يحصل ذلك.

“Kesimpulannya, bahwa hukumnya menurut Ibnu Hajar: jika diniatkan semuanya (yaitu qadha’ dan puasa enam) maka ia mendapatkan semua yang ia niatkan. Jika ia hanya meniatkan sebagian saja (yaitu puasa qadha’ saja), ia pun mendapatkan apa yang ia niatkan dan gugur perintah melaksanakan puasa enam yang tidak ia niatkan dan tentu tanpa mendapatkan pahalanya.

Sedangkan menurut Ar Ramli dan yang setuju dengannya: Walaupun ia hanya niat qadha Ramadhan (di bulan Syawal), ia tetap mendapatkan pahala sunnat puasa enam. Kecuali ia memiliki niat yang ia tidak ingin melaksanakannya, maka ia tidak mendapatkan pahala puasa enam”.

Imam Jamaluddin Al Ahdal dalam kitab ‘Umdatul Mufti wa Al Mustafti, 1 / 273 mengatakan: bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan tidak ada pahala puasa sunat syawal bagi yang mencampurkan niat qadha dan enam syawwal. Sebab terkait pahala sumbernya adalah dalil dari nash Al Quran dan As Sunnah. Terlebih lagi orang yang berpuasa Qadha’ sekaligus puasa enam Syawwal belum melaksanakan aturan yang disebutkan Nabi Saw:

صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَهُنَّ بِشَهْرَيْنِ ، فَذَلِكَ تَمَامُ سَنَةٍ

“Puasa sebulan Ramadhan sebanding dengan puasa sepuluh bulan. Dan puasa enam hari setelahnya (yaitu di bulan Syawwal) sebanding dengan puasa dua bulan. Dengan demikian sempurnalah satu tahun (yaitu dua belas bulan)”. (HR. An Nasa-I dan Ad Darimi).

Yaitu orang tersebut belum dikatakan berpuasa Ramadhan penuh dan enam hari setelahnya.

Adapun jumhur ulama Syafi’iyah mengatakan: bahwa pendapat yang diambil adalah pendapat Ibnu Hajar dan Ar Ramli. Bahkan imam Al Kurdi mengatakan:

وعندي لا تجوز الفتوى بما يخالفهما، بل بما يخالف التحفة والنهاية.

“Menurutku tidak boleh berfatwa yang bertentangan dengan pendapat keduanya terutama yang terdapat dalam kitab mereka berdua yaitu Tuhfatu Al Muhtaj dan Nihayatu Al Muhtaj”. (Mukhtashar Al Fawa-id Al Makkiyah, karya As Syeikh Alawi bin Ahmad As Saqqaf, h.76).

Dengan demikian jika Ibnu Hajar dan Ar Ramli berbeda pendapat silahkan ambil salah satu pendapat dari mereka. Namun perkataan imam Jamaluddin Al Ahdal juga layak untuk kita pertimbangkan.

Bolehkah berpuasa enam sebelum menunaikan puasa Qadha’?

Puasa enam hukumnya adalah Sunnah, sedangkan puasa qadha’ Ramadhan adalah wajib. Selayaknya kita mendahulukan yang wajib barulah yang Sunnah. Adapun mereka yang mendahulukan puasa enam baru puasa qadha’ tetaplah sah dan tidak terlarang hanya saja makruh hukumnya.

Imam As Syathiri dalam hasyiyah beliau terhadap Bughiyyatul Mustarsyidin, 1 / 834 mengatakan:

أما من عليه قضاء موسع كمن أفطر بعذر فيكره له صومها قبل قضاء رمضان

“Adapun yang memiliki kewajiban puasa Qadha dengan waktu yang lapang, seperti orang yang berbuka puasa sebab ada uzur (alasan syar’i), maka dimakruhkan bagi mereka berpuasa enam Syawwal sebelum ia menunaikan qadha’ Ramadhannya”.

Jika sekiranya Ramadhan tertinggal satu bulan maka hendaknya diqadha’ di bulan Syawwal sepenuhnya. Lalu setelahnya dilakukan puasa enam Syawwal walau di bulan Zulkaidah. Pelaksanaan puasa enam Syawwal di bulan Zulkaidah dinamakan Qadha’ sebab telah berlalu waktunya.

Wallahu A’lam

Rujukan Utama:

– Bughiyyatul Al Mustarsyidin wa Hawasyiyaha, karya Syeikh Al Mufti Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al Masyhur (1320 H), Dar Ad Dhiya’ – Kuwait, cet. Pertama tahun 1438 H – 2017 M

– Mughni Al Muhtaj, karya Al Khatib Asy Syarbaini, cet. Al Halabi – Cairo, 1377 H-1958M

– Umdatu Al Mufti wa Al Mustafti, karya Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Hasan Al Ahdal (1352 H), Dar Al Minhaj – Jeddah, cet. Pertama tahun 1429 H – 2008M

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.