-Fikih Fikih Ibadah Konsultasi Syariah Bersama Ustadz

Bermakmum Kepada Imam Yang Berbeda Madzhab

BERMAKMUM KEPADA IMAM YANG BERBEDA MAZHAB

BERMAKMUM KEPADA IMAM YANG BERBEDA MAZHAB

Assalamualaikum Wr Wb

Ustadz.. Bolehkah saya shalat dibelakang imam yang berbeda mazhabnya dengan saya? Sebab saya berqunut sedangkan sang imam tidak berqunut shubuh. Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Jamaah Pengajian

Jawaban:

Wassalamualaikum Wr Wb.

Shalat di belakang imam yang berbeda mazhab banyak kasusnya. Jika perbedaannya hanya sebatas Sunnah seperti qunut shubuh itu tidaklah mengapa. Sebab qunut dalam mazhab Syafi’I hanya Sunnah Ab’adh bukan rukun.

Namun jika terkait rukun, seperti keyakinannya mengikut mazhab As Syafi’I tentang wajibnya tasyahhud akhir serta wajibnya membaca selawat kepada Rasulullah Saw, sementara dia bermakmum kepada Imam yang bermazhab Hanafi yang tidak ber-tasyahhud, tidak membaca selawat, dan tidak ada kewajiban thumakninah dalam ruku’, I’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud atau mengikut imam yang bermazhab Maliki yang tidak membaca tasyahhud akhir.

Maka dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat kepada empat pendapat:

– Pertama: Sah shalat makmum secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Qaffal dalam mazhab Syafi’i, juga pendapat mazhab Hanafi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Kamal Ibnu Al-Humam, juga pendapat Imam Ahmad sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah.

– Kedua: Tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Ishaq Al-Isfarayaini.

– Ketiga: Kalau sang imam melaksanakan syarat-syarat dan rukun-rukun seperti yang terdapat dalam mazhab sang makmum maka boleh dan sah shalat makmum, namun bila sang imam meninggalkan sesuatu atau sang makmum ragu apakah sang imam melaksanakan syarat dan rukun yang diyakini atau meninggalkannya maka tidak sah shalat makmum.

– Keempat: Kalau sang imam meninggalkan sesuatu dari syarat atau rukun dalam mazhab makmum, maka tidak sah shalat makmum, namun jika sang imam melaksanakan semuanya atau sang makmum ragu apakah sang imam ada melakukannya, dianggap sah shalat makmum. Ini pendapat Abu Ishaq Al-Marwazy dan syeikh Abu Hamid Al-Isfarayaini dan Qadhi Abu Thayyid dan jumhur Syafi’iyyah, juga pendapat Al-Qarafi dalam mazhab maliki.

Pendapat Yang Rajih:

Pendapat yang kuat dari segi dalil adalah pendapat yang mengatakan boleh. Sebab demikian dicontohkan dalam praktek dan amalan para sahabat Ra. mereka shalat di belakang sahabat lainnya yang berbeda pendapat dan tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan salah seorang sahabat mengulangi salatnya sebab berbeda keyakinan dengan pendapat imamnya. Demikian dinukilkan oleh Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab beliau Al-Mughni, jilid II, hal. 11.

Juga para ulama-ulama besar pengasas mazhab shalat di belakang satu sama lainnya yang berbeda pendapat. Seperti shalatnya Abu Yusuf dibelakang Harun Ar-Rasyid yang baru selesai ber-hijam (berbekam), Demikian pula Imam Ahmad yang berpendapat harus kembali berwudhu’ bagi orang yang baru selesai berhijam atau keluar mimisan. Lalu beliau ditanya: bagaimana kalau sang Imam keluar darah namun tidak berwudhuk apakah boleh kita shalat di belakangnya? Imam Ahmad Ra. menjawab: Bagaimana saya tidak bermakmum kepada Imam Malik dan Imam Sa’id bin Musayyib Ra?

Namun saya peribadi dalam amalan mengikut apa yang dikatakan oleh Syeikh Abdurrahman Bamasyhur dalam kitab beliau Bughiyyatul Mustarsyidin pada jil. 1, hal. 611 beliau berkata:

اقتدى بمن لا يرى وجوب بعض الأركان كالفاتحة في الأخيرتين، فإن علم تركه لها لزمته المفارقة، وإلا لم يؤثر تحسيناً للظن في توقي الخلاف

“Jika seseorang mengikut (imam) yang tidak menganggap wajib sebagian rukun shalat seperti Al Fatihah pada dua rakaat terakhir, jika sang makmum mengetahui (dengan jelas) bahwa sang imam meninggalkannya maka sang makmum mesti mufaraqah (berpisah) dari imamnya. Namun jika tidak kelihatan dengan jelas tidak menjadi masalah sebagai husnuzhan (berbaik sangka) kepada sang imam yang akan menghindari permasalahan khilaf para ulama”. (Hawasyi Fiqhiyyah ‘Ala Kitab Bughiyayyatil Mustarsyidin, cet. Dar Ad Dhiya’-Kuwait).

Wallahu A’lam

Rujukan:

– Abdullah Kamil, Umar, Dr. Ar-Rukhsah As-Syar’iyah Fil Ushul Wa Al-Qawâ‘id Al-Fiqhiyyah, Dar Ibnu Hazm, Beirut, Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni Syarh Al-Khiraqy, cet. I, jilid II, hal. 11, (Beirut; Dar Al-Fikr, 1405 H).

– Abdurrahman Bamasyhur, Bughiyayyatil Mustarsyidin, jil. 1, hal. 611, (Dar Ad Dhiya’; Kuwait, 2017 M).

– Abu Mu’adz Muhammad bin Abdul Hay Uwainah, Tahqiquhu ‘ala Khulashati At Tahqiq Fi Bayan Hukmi at-Taqlid wa a- Talfiq, hal. 64-65, 2007 M.

– Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid Ibn Al-Humam, Fathul Qadir Syarh Hidayah, jilid I, hal. 436, (Beirut; Darul Fikr, t.t.).

– Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki , Adz-Dzakhirah, jilid II, hal. 248 (Beirut; Dar Al-Gharb, 1994 M).

– Yahya bin Syaraf An-Nawawy, Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzah, jilid IV, hal. 248, (Maktabah Al Irsyad; Jeddah) .

Comments

comments

Tentang Penulis

Dosen IAIN Langsa, Doktoral Fiqh Muqaran (Perbandingan Mazhab Fikih) di Universitas Al Azhar - Mesir, Mudir dan Ketua Yayasan Pesantren Dar Faqih Qurani - Aceh Timur, Dewan Fatwa Nasional Jami'ah Al Wasliyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.